Sabtu, 26 Juni 2010

SEBENTAR LAGI HARI AKAN MALAM KAWAN

berhati2lah kawan,
sebentar lagi malam akan datang
digelapnya kita tidak tahu
dari arah mana kita ditikam

cerita tentang lilin
yang rela hancur untuk menerangi
telah jadi omong kosong,
sumbunya tak mampu terbakar lagi
dari oksigen t'lah lenyap diudara

sesiang ini kita terlena
dalam huruf besar yang kosong
dengan benda2 tak berjiwa
kita tanam ketubuh sendiri
terluka diam2

seusai malam2 panjang nanti
barangkali tubuh kita
telah membujur dingin
dan sia2

KERINDUAN

hari masih pagi
terlihat awan biru menghiasi angkasa
angin tak bertiup
tenang
lengang

sebuah hati bergolak
melepas impul2 rasa
kerinduan yang bergulung2
melingkar
membentuk suatu nodule

tiba2
nodule itu terbang
menembus angkasa
lalu pecah terkena sinar matahari
menjadi gelombang
bercampur dengan gelombang suara alam

nan jauh ditimur sana
sebuah transistor rasa
menerima gelombang suara alam

tanpa sadar terdeteksi
gelombang pecahan nodule
lalu terdengar suara
"aku merindukanmu"

SURAT CINTA DARI AKHIRAT

alangkah indahnya kota2 yang kemarin kujaga
terlentang seperti seorang putri telanjang
taman2 tetap terbuka
dan gelas anggur bersandar pada cahaya bulan

manakala aku memandang kebawah
ingin datang padamu dan bercinta lagi
hati yang berlumuran darah minta diri darimu

kekasihku sayang
bagai pasukan yang kalah perang
aku terbungkuk2 berjalan menuju TUHAN
dalam barisan tidak berujung yang panjang

betapa dingin jalan yang sekarang kutempuh
sementara rindu berpaling kedunia yang silam
malam yang sedang mengembara diatas awan
makin deras mengembun diatas punggungku
biarlah aku turun dulu kepadamu
sesaat sebelum darah sekali lagi membeku
aku akan mengetuk kelompok matamu berkali2
untuk secangkir kopi dan minta diri

kekasihku, namun angin terasa lagi
mendorong lurus kedepan . . . ke sisi TUHAN
maka kukirimkan saja surat ini
semoga sampai padamu

semoga sampai padamu
surat cinta terakhir dari akhirat
dengan kata penutup . . . selamat tinggal
selamat tinggal, sejenak dan selamanya

CATATAN DARI YANG MELINTAS DIJALAN

dalam catatan ini kutemui lagi
wajah-wajah kalian,
ruang dan waktu yang dilintasi
sebagian dari cerita
tentang pertemuan kita

rumah tak berjendela
berselimutkan koran,
jalan-jalan kelas empat
dipenuhi asap dan sampah,
kendaraan-kendaraan terengah
melaju jalan di kota besar,
anak-anak kecil menari
yang berpenampilan kucel,
stasiun bis kota malam hari
dengan derum bis lalu lalang

kalian adalah cerita
tentang masa depan
yang terdiam dan termangu bertanya

ADA CERITA DIBALIK MATANYA

kita bertemu tak sengaja
disiang hari,yang aku lupa
tanggal berapa persisnya

aku hanya ingat
senyum dilekuk mulutmu
yang itu tak kutemui
dalam tatap matamu
mata yang sedang cerita
warna-warna suram kehidupan
cerita orang-orang yang dihinakan
cerita orang-orang yang ditertawakan dunia

saat itu aku membalas tersenyum
sementara kau menatapku dalam-dalam
membuatku gelisah
karena dibalik mata yang tak senyum
tersimpan cerita
mengalir tak habisnya,
tentang ruangan berlampu remang-remang
warna,suara,bau dan asap
yang sama-sama aneh dan memusingkan
cerita tentang wanita, lelaki
dan setan-setan menari gembira
diantara mereka

setelah itu kita saling menatap sekali lagi
sebelum pertemuan itu selesai
tanpa kata-kata
tanpa aku tahu namamu
tanpa engkau tahu namaku

tak ada yang tersisa dari pertemuan kita
cuma cerita itu memang selalu ada
cerita orang-orang yang dihinakan
cerita orang-orang yang ditertawakan dunia

CERITA TENTANG KITA

hari tempat kita bersama
adalah matahari dipunggung kita

kawan,
aku kadang termangu
ternyata tak semua disini
dapat kita mengerti
seperti ajaibnya waktu yang tak dapat berulang
atau rumitnya susunan saraf dalam tubuh
atau garis edar tak terjangkau di jagad raya

hari tempat kita bersama
adalah dua pasang kaki melangkah bersama

jalan didepan tak pernah dapat dipastikan
dalam satu garis lurus
menuju kesatu titik
sementara kita adalah setumpuk jiwa
yang mencoba untuk tak terpisahkan
yang berwujud nyata didunia
dalam masing-masing tubuh kita

hari tempat kita bersama
akan tetap ada
dalam kehidupanku dan kehidupanmu
dalam jalan kita masing-masing
menjadi sumber utama
kasih sayang terhadap manusia

batas-batas tak dapat memisahkan
ruang dan waktu bukan apa-apa

HARI ULANG TAHUN SEORANG IBU

matahari pagi hari ini
sama seperti kemarin,
tahun lalu,
dan bertahun-tahun yang lalu
bagian dari usia
yang berlayar,
dari bayi-remaja-dewasa-tua

bersamanya berkumpul
keringat
air mata
tawa
harapan-harapan
impian-impian
kekecewaan
dan kebahagiaan

dari ibu,
yang usianya
telah berlayar
bersama-sama dengan
matahari,

seperti rekaman lagu
yang diputar kembali
urutan dari kejadian-kejadian

impian-impian gadis remaja
berganti dengan cinta dewasa seorang istri
harapan-harapan seorang ibu muda
telah berkembang jadi pengertian yang bisa
memaafkan

Kesakitan dalam melahirkan bayi yang suci
seperti kesakitan yang harus dibayar
untuk melahirkan semua kesucian

Melepas anak-anak
untuk pergi
bersama suami-suami
dan istri-istri mereka
serasa melepasnya dulu
pergi ke sekolah

matahari beredar terus
sampai titik puncaknya,
tenggelam nanti sore,
untuk bangkit kembali
esok hari
perjalanannya,
seperti seorang ibu,
abadi dalam diri tiap manusia

JIKA BESOK AKU MATI

Sewaktu-waktu rembulan surut kebelakang perlahan-lahan

juga pohon2 membungkuk khidmat dan hormat

maka ajalpun berlalu
...
membawa ratusan surat dari Tuhan

Kalau datang saatnya malam mengetuk

pintu bakal terbuka sendiri

dan angin yang menunggu diluar

telah menambatkan kereta mati dihalaman

Sahabatku, kita telah sama2 mengembara

dari hati perawan

sampai kelaut paling dalam

jika besok aku mati

kutinggalkan dunia yang belum habis kucumbu rayu

Hanya gunung yang tidak pernah dusta, hanya gunung

tanyalah burung2 yang rukun dengannya

hanya laut yang tidak pernah ingkar, hanya laut

tanyalah camar yang bersatu dengannya

Kekasihku perempuan cantik dan muda

namun jika besok aku mati

kutinggalkan padanya sebuah kalimat tanya

sungguh benarkah kau cinta padaku?

sungguh benarkah?

Kamis, 24 Juni 2010

SANG PELACUR DAN SUPIR TAKSI "PILIHAN HIDUP YANG BERBEDA"


Apakah kau masih akan berkata kudengar derap jantungmu kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta.

(Sebuah Tanya — karya Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 1 April 1969)

Kehidupan berjalan seperti puisi. Saya senantiasa berpendapat demikian—meski saya bukan seorang penyair tapi tak lebih hanya penikmat puisi—karena saya melewatkan hari demi hari kehidupan dengan beragam nuansa: terkadang sangat melodramatis, romantis, sentimentil, bahkan lucu. Seperti puisi.

Saya telah banyak menemui kejadian yang menegaskan fenomena itu. Kemarin, saya mengembalikan dompet seorang ibu yang ketinggalan di taksi saya. Sesungguhnya, saya tidak mengharapkan keuntungan apa-apa dari situ, sebab saya tahu, kejujuran dan kepolosan sudah menjadi bagian integral dari jiwa, tubuh dan segenap aktifitas keseharian saya. Kalau pun kemudian, ia dengan ekspresi wajah lega dan ucapan terima kasih tak terhingga, lalu memberikan uang sebagai penghargaan atas 'jasa' saya, dan kemudian dengan halus saya menolaknya, itu semata-mata karena apa yang telah saya lakukan sudah menjadi tugas saya, komitmen saya untuk menjunjung tinggi 'harkat ke-supir taksi-an' saya. Tak lebih.

Lantas, dua minggu lalu, saya menolong seorang korban kecelakaan lalu lintas di depan kampus sebuah perguruan tinggi. Saya segera membawanya ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat, dengan tidak memperhitungkan lagi berapa tarif taksi yang saya dapat peroleh andai saya tetap mengabaikan kejadian itu. Semua terasa seperti tindakan 'bawah sadar' yang telah terbentuk sedemikian rupa selama bertahun-tahun, sejak ayah almarhum menanamkan nilai-nilai kependekaran pesilat kampung dan kearifan petani penggarap. Kejadian-kejadian tadi seperti mengguratkan puisi-puisi indah dalam hidup saya.

***

Saya kembali menjalani rutinitas saya. Bukan rutinitas yang lazim memang, karena setiap petang tiba, saya menjemput Susan–seorang wanita panggilan 'kelas kakap'–yang tinggal di sebuah rumah mewah di sebuah kompleks pemukiman real estate, untuk kemudian membawanya ke suatu tempat, di mana saja, yang telah disepakati sebelumnya oleh pelanggan setia saya itu.

Ia sudah menyewa taksi saya selama enam bulan. Jadi pada jam-jam tertentu–biasanya petang hari–saya menjemputnya di rumah, membawanya ke suatu tempat yang senantiasa berbeda-beda, lantas mengantarnya kembali pulang setelah 'bisnis'-nya usai pada jam-jam tertentu pula.
Susan membayar cukup mahal untuk tugas tersebut. Dan saya menerima itu sebagai bagian tak terpisahkan dari harkat 'ke-supir taksi-an' saya. Saya tidak menganggap itu sebagai kerja yang hina lantaran menerima bayaran dari hasil desah dan keringat maksiat Susan. Ini bagian dari tugas, demikian saya mencari alasan pembenarannya. Persetan dengan semua anggapan sinis tentang saya. Bagi saya, saya tetap memiliki hak untuk menentukan sikap dan melakukan apa yang terbaik untuk saya. Prinsip sederhana tapi logis.

Sudah empat bulan saya melakukan 'tugas rutin' ini. Saya sudah berusaha menghilangkan beban psikologis apa pun termasuk perasaan cinta. Saya memang tidak dapat mengingkari kata hati bahwa Susan memang cantik dan saya telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan rambut sebahu, wajah oval proporsional, hidung bangir, kulit putih dan postur tubuh ramping semampai, Susan tampil mempesona mata setiap pria yang melihatnya. Termasuk saya.

Sebagai lelaki bujangan dan normal, saya tidak dapat menepis getar-getar aneh saat wangi parfumnya yang khas menyerbu hidung ketika ia masuk ke taksi saya. Tapi saya berusaha menekan perasaan itu sekuat-kuatnya. Terlebih, ketika muncul rasa cemburu, saat ia digandeng oom-oom kaya yang lebih pantas menjadi ayahnya. Saya seyogyanya harus menempatkan diri pada posisi yang benar: ia adalah pelanggan dan saya hanya supir taksi. Saya mematuhi 'rambu-rambu' itu secara konsisten.

Percakapan kami pun, baik ketika pergi maupun pulang, biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Bahkan nyaris bersifat rutin. Saya berusaha menjaga jarak dengan Susan agar tidak terlibat lebih jauh ke masalah yang sifatnya terlalu pribadi. Namun belakangan ini sudah ada sedikit 'peningkatan kualitas pembicaraan'. Tidak hanya sekedar, 'Mau ke mana?' atau 'Jam berapa mau dijemput?', dan sebagainya. Susan mulai menanyakan latar belakang pribadi saya hingga menanyakan ada berapa jumlah penumpang di taksi saya untuk hari ini. Saya gembira pada perkembangan menarik ini. Mulanya saya agak rikuh tapi perlahan saya mulai dapat menyesuaikan diri dan menjadi pembicara atau pun pendengar yang baik.

Hubungan emosional kami pun berlangsung hangat. Susan pun tak canggung-canggung mengungkap riwayat hidupnya pada saya. Ia ternyata produk keluarga broken home. Ketika ayah dan ibunya bercerai, ia minggat. Ia tidak tahan dan prihatin dengan kondisi seperti itu. Ia pun tidak peduli pada siapa pun, termasuk kakak maupun adiknya. Saya harus terus hidup dan berjuang, kata Susan menetapkan hati. Tanpa disadarinya, ia terjerumus ke lembah nista. Kehidupan malam dan hingar bingar pesta, sepertinya memberikan keleluasaan baru dan ia bagai memperoleh jatidiri di sana. Susan akhirnya jadi primadona di sebuah diskotik ternama yang tak lain sebagai kedok ajang prostitusi kelas atas. Nama Susan melambung tinggi sejak itu. Hampir semua lelaki yang mampir di diskotik itu siap melakukan apa pun asal Susan mau berkencan dengan mereka.

Pada akhirnya, Susan kemudian menjadi 'istri peliharaan' seorang direktur di kota ini, dengan tip dan bayaran yang sangat besar plus rumah mewah komplit segala isinya. Sang Direktur hanya datang pada waktu-waktu tertentu saja untuk menemui Susan. Meskipun begitu, profesinya tak juga ditinggalkan. Ia menjadi wanita panggilan untuk 'kalangan elit'.

"Saya menyukai pekerjaan ini," katanya suatu ketika. Suaranya terdengar serak, terkesan dipaksakan.

Saya melirik melalui kaca spion, ia duduk santai di belakang, menyelonjorkan kaki dan menyalakan rokok. Saya tersenyum dan kembali mengalihkan pandangan ke depan. Ia tak menjelaskan lebih jauh pernyataan yang telah dikeluarkan. Hanya kepalanya terangguk-angguk pelan menikmati lagu melankolis 'When A Man Loves A Woman'-nya Michael Bolton yang mengalun dari tape recorder taksi saya.

"Hei, Harry. Kamu sudah punya pacar belum?" tanyanya tiba-tiba.
Saya gelagapan dan agak kehilangan konsentrasi mengemudi.

"Belum," saya menjawab tersipu. Sebuah jawaban yang jujur. Saya akui, saya bukan tipe lelaki yang dapat dengan mudah membina hubungan cinta dengan wanita. Saya memiliki selera perfeksionis, tapi tak pernah punya cukup keberanian untuk menerapkannya lebih jauh.

Susan terkekeh. Ia menghirup rokoknya dalam-dalam. Rimbun asapnya mengepul-ngepul, memenuhi kabin taksi. Saya menelan ludah.

"Kalau Susan sendiri bagaimana?" Saya balik bertanya.

"Kamu tahu sendiri, kan? Banyak. Banyak sekali," sahut Susan. Suaranya terdengar hambar. Kedengarannya ia seperti melontarkan sebuah lelucon. Atau apologi? Saya tak tahu.

"Banyak memang. Tapi hampa," saya menanggapi dengan getir.

Untuk beberapa saat Susan terdiam. Ia mematikan rokoknya, lalu merenung. Lama. Hanya deru mesin mobil dan getar alat air conditioner taksi terdengar. Lalu lintas di larut malam itu memang telah sepi. Sebagian lampu jalan telah dipadamkan. Saya tiba-tiba menyadari kecerobohan dan kelancangan saya.
"Maafkan saya, Susan. Saya...."

"Tidak apa-apa, Harry. Kamu benar. Mereka hampa. Cuma punya tubuh dan nafsu. Bukan jiwa dan cinta," tutur Susan lirih. Saya menghela nafas panjang. Dada saya terasa sesak.

"Hidup menawarkan banyak pilihan, Susan."

"Tapi saya tak punya pilihan!" sangkal Susan. Nada suaranya meninggi. Saya berusaha menenangkan diri.

"Kearifan menyikapi dengan landasan moral, itu kunci untuk memilih. Kita memang tak akan pernah tahu apakah pilihan hidup kita sudah tepat. Tapi setidaknya, kita mesti punya pegangan yang kokoh untuk menentukan ke mana kita mesti melangkah," saya berkata lembut. Terdengar nafas berat Susan dibelakang. Suasana terkesan kering dan kaku. Kami tak bercakap-cakap lagi hingga saya mengantarnya ke gerbang depan rumahnya. Ia hanya mengucapkan 'Selamat malam. Sampai jumpa besok sore'. Saya pulang ke rumah dengan rasa bersalah yang bertumpuk.

***

Sekarang, saya kembali menjemputnya seperti biasa pada waktu dan tempat yang sama. Kekakuan komunikasi akibat 'insiden' tempo hari telah lenyap. Saya pun berusaha untuk lebih hati-hati. menjaga perasaannya.

"Apa kamu tidak bosan dengan rutinitas seperti ini, Susan?" Saya membuka percakapan, pada hari terakhir kontrak sewa saya dengan Susan.

"Apa kamu punya ide yang baik?" Ia balas bertanya.

"Yah... misalnya menempuh rutinitas yang baru. Kawin dengan lelaki yang mampu memberi nafkah cukup lahir batin–tidak sekedar limpahan materi yang semu belaka, hidup bahagia, punya anak dan menikmati kehidupan," saya mengucapkan kalimat tersebut sesantai mungkin. Tanpa beban. Saya ingin mendengar pendapatnya mengenai hal ini.

Sejenak Susan terdiam. Saya kembali melirik ke belakang lewat kaca spion mobil. Susan terlihat sangat cantik. Parasnya yang memukau seperti bercahaya. Ia melepas pandang ke luar melalui kaca jendela taksi yang buram. Seperti memikirkan sesuatu.

"Itu angan-angan yang terlalu ideal, Harry," jawabnya, akhirnya.

"Jangan melihat ini sebagai sesuatu yang naif, Susan. Saya rasa pendapat saya cukup realistis. Tidak mengada-ada. Setiap orang, baik lelaki maupun wanita, pasti pernah berpikir mengenai hal itu: Kebahagiaan hidup berkeluarga. Semuanya akan kembali pada prinsip dan keinginan orang yang bersangkutan, sepanjang ia sadar dan yakin hal itu bakal memberikan ketenteraman bagi jiwanya, hatinya dan segenap aktifitas kesehariannya," saya mencoba melontarkan argumen.

"Kita punya takaran penilaian yang berbeda, Harry. Tak akan bisa bertemu. Jangan terlalu banyak bermimpi. Kita hidup berada dalam kemungkinan-kemungkinan. Apa yang bakal terjadi kemudian, kita tak bisa menebak. Dan itu sering tidak persis sama seperti yang kita bayangkan," ujar Susan lirih dengan bibir bergetar.
Saya menarik nafas. Putus asa.

"Apakah Susan menganggap bahwa lakon hidup yang Susan lakukan selama ini sama persis seperti yang Susan bayangkan sebelumnya?"

"Memang tidak sama, Harry. Bahkan sangat jauh berbeda. Saya tidak pernah mengimpikan menjalani kehidupan seperti ini. Tapi, bukankah ini bagian dari kemungkinan-kemungkinan hidup? Tidak berarti saya mengatakan bahwa saya menolak kehidupan berkeluarga. Saya bukan orang yang munafik, Harry. Saya tetap mendambakan seorang suami yang dapat menyayangi dan memanjakan saya serta anak sebagai tambatan hati. Namun, kalau saya telah menemukan ketenangan pada profesi yang saya lakoni saat ini, bagi saya bukanlah suatu pilihan yang keliru. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk memaknai hidupnya."

"Apa Susan merasa bahagia dengan memaknai hidup dengan jalan ini?"

"Saya tak bisa menjawabnya, Harry. Kamu tidak akan pernah tahu ukuran dan nilai kebahagiaan bagi saya seperti apa. Begitu pula sebaliknya. Kita punya 'nilai rasa' yang berbeda dalam menakar kebahagiaan," Susan bertutur pelan dengan tidak mengalihkan pandangan ke arah luar taksi.

Saya terdiam. Saya tak bisa berkata apa-apa lagi. Saya sadar, Susan cukup konsisten memegang prinsipnya.
Mendadak, kesedihan merambah dalam hati saya. Hari ini adalah hari terakhir saya bersama Susan. Besok, Susan akan berangkat berlibur ke Singapura dan Australia mendampingi sang Direktur selama sebulan. Saya tidak tahu apakah Susan akan menyewa 'jasa' saya lagi kelak. Bagi saya itu tidak penting. Kebersamaan dengan Susan selama ini, tanpa sadar membangkitkan rasa cinta dan keinginan melindungi dalam hati saya. Saya merindukan dia. Melalui kaca spion mobil, saya melirik Susan. Ia begitu cantik, sangat cantik, saya membatin sekaligus nelangsa.

Kami telah sampai ke tujuan. Saya segera mematikan mesin mobil dan mengumpulkan segenap keberanian yang ada. Susan baru saja hendak membuka handle pintu belakang ketika saya berseru.

"Susan, tunggu!"

Ia mengurungkan niatnya dan memandang saya. Matanya bertanya. Dada saya berdegup kencang.

"Saya mencintai kamu, Susan," saya mengungkapkannya dengan tenggorokan tercekat.
Susan menatap tak percaya. Saya segera meraih tangannya. Meraba jemarinya yang halus. Mengalirkan keyakinan.

"Hentikan semua ini, Susan. Kamu seharusnya hidup lebih layak, terhormat dan bernilai. Apa yang kamu lakukan selama ini hanya akan membuat hidupmu didera kesalahan dan dosa. Hiduplah dengan saya. Kita kawin. Saya berjanji akan membahagiakan kamu."
Susan menggigit bibir. Ia tampaknya memikirkan sesuatu. Saya merasa cemas. Saya sudah menabah-nabahkan hati untuk siap menerima kemungkinan terburuk. Saya memandang Susan dengan tajam. Penuh harap.

Susan tersenyum. Ia mempererat genggaman tangan saya. Tatapan matanya seperti menyiratkan sesuatu. Sangat misterius.

"Saya memang harus menentukan pilihan, pada akhirnya. Tapi kita hidup dalam dunia yang berbeda, Harry. Kamu tak akan bisa memahami saya, seperti saya pun tak bisa memahami kamu. Terima kasih atas ketulusan tawaranmu. Saya menghargainya. Biarkan saya memilih dan melewati jalan yang menurut saya terbaik. Maafkan saya. Selamat tinggal," Susan mengucapkannya dengan bibir bergetar. Pelupuk matanya basah. Disekanya cepat-cepat, lalu membuka handle pintu tergesa-gesa dan pergi.
Saya tak bisa mencegahnya lagi. Saya hanya sempat memandangi punggungnya serta gaunnya yang berkibar ditiup angin senja, untuk terakhir kali, dengan pandangan kosong. Terasa ada yang hilang dalam diri saya, sesuatu yang tak dapat saya ungkapkan bagaimana adanya. Yang pasti, saya seperti telah mencipta 'puisi' baru dalam lakon hidup saya. Samar-samar saya mengingat sebait syair bagus:

Lihatlah gadis yang berjalan sendiri di pinggir sungai Lihatlah rambutnya yang panjang dan gaunnya yang kuning bernyanyi bersama angin Cerah matanya seperti matahari seperti pohon-pohon trembesi Wahai, cobalah tebak kemana langkahnya pergi

(Gadis dan Sungai — karya Emha Ainun Nadjib dari buku 'Sesobek Buku Harian Indonesia') ©

Rabu, 23 Juni 2010

AKHIR DARI SEBUAH PERSAHABATAN YANG SEJATI


Masih ingat dengan kisah si Radit? Pria yang meninggal karena mengidap penyakit mematikan HIV/AIDS. Kisah sedih ini tak berhenti sampai disini.

Satu persatu kesedihan menyusul sejak kepergian Radit. Ternyata Radit tak sendiri. Radit memang tak sendiri. Seperti yang telah dikisahkan sebelumnya. Radit terkena virus HIV/AIDS karena pemakaian putauw dengan jarum suntik bergantian dengan teman-teman satu kompleknya kala dia masih duduk di bangku SMA.

Kudengar kabar, beberapa tahun sebelum tiba-tiba kondisi Radit menurun terus karena kekebalan tubuhnya yang telah habis, ternyata aku ketahui dari kakak Radit, bahwa ada tiga orang teman Radit yang mendahului Radit 'menutup usia'. Dan dahsyatnya penyakit yang mereka alami sama persis dengan yang Radit alami.

Kala itu terjadi, Radit masih menyelesaikan kuliah di kota Yogyakarta. Kota yang sama dengan kuliahku. Kala itu pula Radit hanya mendengar kabar itu sepintas lalu dari keluarganya, karena Radit berada di kota yang berbeda dengan keluarganya. Karena pengetahuan yang masih sangat minim tentang gejala penyakit HIV/AIDS, Radit tak menyadari apa penyebab dari kematian ketiga temannya itu. Setelah Radit pergi menyusul ketiga temannya itu, barulah keluarga Radit menyadari betapa kejamnya virus HIV/AIDS itu.

Kabar mengejutkan kudengar dari keluarga Radit, setelah tiga bulan Radit meninggal, salah seorang sahabat Radit, Andre, teman sepermainan Andre di Komplek kala Radit masih SMA, meninggal dengan proses sakit yang sama. Hanya saja Andre tak harus mengalami waktu yang lama seperti Radit alami. Hanya kurang lebih satu bulan Andre mengalami sakit dan akhirnya dia meninggal.

Bagaikan persahabatan yang sejati dan abadi, empat sekawan itu pun meninggal dunia dengan penyakit yang sama, penyakit yang mereka tak sadari dari mana asalnya dan bagaimana akibatnya.

Hampir dua tahun Radit meninggalkan kami, di pertengahan bulan Juni 2008, tak disangka kepergian Radit pun disusul lagi oleh kematian sahabat sejatinya satu komplek, Kris. Memang sebelum Radit 'menutup usia,' dia pernah bercerita pada kami, dengan siapa saja kala SMA dia menggunakan ’serbuk putih’ terlarang itu. Salah satu nama yang disebutkan sangat familiar sekali di telingaku. Kris memang sahabat dari kecil Radit. Bisa dikatakan dimana ada Kris, dapat dipastikan disitu pula ada Radit.

Usia Kris setahun lebih tua dari Radit. Radit pun menganggap Kris sebagai sahabat sekaligus kakak. Namun sangat disayangkan, kakak yang dijadikan panutan malah menjerumuskan Radit ke dalam jalan menuju kematian.

Aku ingat ketika Radit terbaring tak berdaya di RS. Bayukarta Karawang, beberapa teman komplek Radit datang menjenguknya. Salah satu dari teman itu adalah Kris. Namun entah apa yang dibisikkan Radit ke telinga Kris, hingga sepertinya perlahan-lahan Kris bergerak mundur dan sedikit menjauhi Radit. Belakangan ku ketahui dari salah seorang teman Radit, bisikan itu berbunyi, “Kris, badanku rasanya lemas banget, sepertinya organ dalamku telah hancur semua”. Tak disangka karena bisikan itulah, Kris mulai menghindari Radit.

Setelah Radit meninggal dunia, terdengar kabar bahwa Kris mulai sakit-sakitan. Meskipun terkesan keluarga Kris 'menutup rapat' tentang apa sebenarnya penyakit Kris, namun karena keluarga Radit telah lebih berpengalaman menghadapi gejala-gejala penyakit HIV/AIDS, rasanya sudah bisa ditebak apa sebenarnya penyakit Kris. Karena dilihat dari gejalanya, sakit yang dialami Kris sangat mirip dengan yang pernah dialami Radit.

Mungkin kejadian yang dialami Radit adalah pelajaran yang sangat berharga bagi keluarga Kris. Hikmah baik yang dapat diambil bagi keluarga Kris adalah keluarga Kris menjadi lebih sigap dan cepat dalam mengobati Kris. Dalam kurun waktu hampir dua tahun, secara intensif keluarga Kris membawa dia untuk selalu chek up ke RS. Dharmais, Jakarta. Dan dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun itulah kondisi kesehatan Kris bagaikan sebuah 'yoyo'.

Kurang lebih satu bulan Kris dirawat di RS. Dharmais Jakarta, Kris pun kembali ke Karawang. Terlihat kondisi Kris sudah mulai membaik. Badannya menjadi agak gemuk dan dia pun mulai berjalan-jalan keluar rumahnya. Suatu ketika pernah dia terlihat begitu lahapnya menyantap siomay didepan rumahnya ditemani oleh istri tercintanya.

Kala itu kulihat betapa bahagianya mereka. Kebahagiaan yang tak dapat kurasakan dengan Radit. Sejujurnya dalam hati kecilku sedikit kecewa. Bukan kecewa karena melihat kebahagiaan mereka. Tetapi aku kecewa akan keadilan Tuhan. Mengapa Kris bisa sembuh sedangkan Radit tidak?

Padahal mereka sama-sama pernah mengalami kondisi yang sama. Tapi ternyata aku salah besar. Bagaikan sebuah 'yoyo' tadi, kondisi baik Kris pun tak berlangsung lama. Berangsur-angsur kondisi Kris mengalami penurunan hingga akhirnya Kris pun meninggal dunia.

Ternyata Tuhan maha adil. Istri Kris pun harus mengalami rasa sakit yang sangat perih dan kesedihan yang amat sangat dalam seperti yang pernah kurasakan. Karena akhirnya Kris pun menyusul Radit dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun setelah Radit pergi mendahuluinya.

Sudah dapat dipastikan bagaimana sedihnya istri Kris karena ditinggal oleh suami yang sangat dia cintai. Hal yang sama yang pernah aku rasakan sebelumnya.

Dan bagaikan persahabatan yang sejati, Radit dan teman-temannya pun kini telah berkumpul kembali di alam mereka yang baru. Alam yang lebih abadi. Apakah ini akhir dari sebuah persahabatan yang sejati? Entahlah. Yang jelas mungkin ini adalah jalan yang terbaik bagi mereka. Setidaknya mereka tak perlu lagi merasakan sakit. Mungkin dengan adanya kejadian ini, banyak hikmah yang dapat kita ambil. Setidaknya bagi kita yang ditinggalkan untuk menyelamatkan generasi penerus kita.

Selasa, 22 Juni 2010

SEANDAINYA WAKTU DAPAT DIPUTAR KEMBALI


Cerita dibawah ini merupakan kisah nyata yang disharingkan kepada saya : Re (nama samaran). Ia berharap agar kisahnya ini dapat dijadikan ’pelajaran’ bagi semua orang : tentang cinta, pergaulan dan narkoba.

Kala itu semua terasa indah, ketika dia masih ada di sisiku. Kini mungkin dia telah bahagia di alamnya, Semoga.

Ini kisah tentang seorang lelaki yang meninggal karena HIV/AIDS, sebut saja dia Radit. Entah mengapa sampai sekarang kenangan dengannya selalu melekat di benakku, seolah tak mau lepas, bayang – bayangnya begitu terasa nyata dimataku, meski kini Radit telah kembali ke sisi Sang Pencipta.

Kurang lebih lima tahun aku berpacaran dengannya, tentu saja itu bukan waktu yang sebentar bukan? Segala macam cobaan telah kami lalui, suka duka selalu mewarnai perjalanan cinta kami. Namun dalam sekejap semua hilang. Radit telah berpulang. Dan hingga kini aku masih belum ikhlas untuk melepaskannya, meskipun tetap aku harus merelakannya.

Semua itu karena barang laknat itu. Narkoba (putauw) lah yang merenggut nyawa pacarku. Berawal dari ketika dia masih duduk dibangku SMA, dia mulai mengenal barang itu. Mungkin karena rasa ingin tahu yang sangat tinggi atau karena salah pergaulan, entahlah, yang jelas di akhir sisa umurnya, Radit menyatakan penyesalannya atas kesalahannya itu. Meski orang tuanya tampak marah, tapi bagaimanapun juga kasih sayang terhadap anak tak akan pernah hilang.

Rasa kaget, marah dan sedih campur aduk menjadi satu ketika kudengar dari salah seorang perawat RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM), bahwa Radit mengidap HIV/AIDS. Hampir ku tak percaya, sampai akhirnya kutanyakan ke dia, apakah dia pernah berperilaku buruk (sex bebas), ku tanyakan padanya seperti itu karena yang kutahu HIV/AIDS adalah penyakit yang ditularkan melalui sex. Ternyata aku salah besar, karena HIV/AIDS juga dapat ditularkan melalu pemakaian putauw dengan jarum suntik secara bergantian dengan teman. Dan Radit pun mengaku dia pernah memakai putauw bersama teman – teman kompleknya, kala duduk dibangku SMA.

Siapa sangka diantara teman – temannya itu ada yang menjadi penyebab tertularnya Radit dengan penyakit mematikan itu. Mungkin karena pengetahuan Radit yang minim tentang cara penularan HIV/AIDS saat itu, Radit terlanjur tenggelam di dalam 'kolam kematian'.

Kadang aku menyesali mengapa ini harus terjadi. Andai saja waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya aku menyelamatkan Radit agar tak terjerumus ke jalan yang mengantarnya ke kematian itu. Seandainya aku mengenal dia dari SMA. Sayang, aku baru mengenal dia ketika kami sama – sama kuliah di Yogyakarta.

Ketika masih kuliah, seperti tak ada yang aneh pada dirinya. Dia tampak sehat, badannya cukup gemuk bahkan makannya pun sangat banyak. Sehari – harinya pun dia selalu melakukan hal – hal yang bersifat wajar. Pendek kata, tak tampak dalam dirinya bahwa didalam tubuhnya telah bersemayam dan berkembang virus jahanam bernama HIV.

Meskipun kerap kali setiap kami bertengkar, tak jarang dia melarikan diri dari masalah dengan cara minum minuman keras bersama dengan teman – temannya, namun itu tak membuat aku menganggap dia sebagai lelaki yang tidak baik. Karena menurutku, pada dasarnya Radit adalah lelaki yang sangat baik. Sebagai kekasih, dia sangat setia, cukup bertanggung jawab dan yang terpenting dia sangat mengerti dan mau menerima baik buruknya diriku. Sifatnya yang sabar dan mau mengalah bisa meredam sifatku yang cenderung emosional. Segala hal dalam dirinya itulah yang hingga kini belum dapat kutemukan penggantinya.

Sekitar April 2006, kudengar kabar dari kakaknya, bahwa Radit jatuh sakit sehingga harus diopname di RSUD Karawang, dikota asalnya. Kala itu kudengar Radit kena Typus. Setelah seminggu Radit dirawat di RSUD Karawang, dia pun pulang kerumahnya. Betapa aku sangat kaget, ketika ku tengok dia, kulihat badannya mengurus cukup drastis.

Kala itu aku belum tahu kalau dia mengidap HIV/AIDS. Sejak dari itu kudengar lagi dari orang tuanya kondisi Radit menurun terus, badannya panas tinggi disertai diare yang sangat hebat, sehingga dia harus dilarikan kembali ke RS. Bayukarta, Karawang.

Kurang lebih 20 hari lamanya Radit dirawat di RS. Bayukarta tanpa ada yang memberitahu apa sebenarnya penyakit Radit. Sampai akhirnya Radit dirujuk oleh rumah sakit itu untuk di rawat di RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, karena menurut dokter setempat, peralatan dan fasilitas kedokteran di Rumah Sakit tersebut lebih lengkap dan lebih baik. Akhirnya orang tua Radit pun setuju untuk membawa Radit ke Jakarta, meskipun awalnya mereka keberatan karena Jakarta dirasa sangat jauh bagi mereka dan tentunya akan menelan banyak biaya. Namun akan terasa lebih dekat bagiku untuk menjenguk Radit, karena aku tinggal di Jakarta. Tentu saja aku lebih senang, karena jika Radit di rawat di Jakarta, aku akan jadi lebih sering menengoknya, setiap aku pulang kerja. Akhirnya Radit pun di bawa ke Jakarta.

Hari pertama Radit dibawa ke Jakarta tepatnya di RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM), dengan mengantongi kartu GAKIN (Keluarga Miskin) dari kelurahan asal dia tinggal. Kulihat kondisinya begitu menyedihkan. Dia tampak semakin kurus, terduduk dan melamun di atas tempat tidur dorong di lorong rumah sakit tersebut, sementara dia belum mendapatkan kamar. Kulihat pelayanan terhadapnya sangat menyedihkan. Sepertinya perawat – perawat di rumah sakit itu tak peduli kepadanya.

Ketika Radit merasa kesakitan karena jarum infus yang menancap di tangannya dalam posisi salah sehingga membuat tangannya menjadi bengkak, kulihat perawat rumah sakit itu membetulkannya dengan sikap diskriminasi. Hal itu terlihat jelas dari cara perawat itu membetulkannya. Perawat itu memakai sarung tangan lengkap dengan masker penutup hidungnya, seolah – olah dia sedang berhadapan dengan orang yang sangat menjijikkan.

Melihat hal itu, tergerak hatiku untuk memindahkan Radit ke rumah sakit lain yang dirujuk oleh RSCM yaitu RS. Duren Sawit. Kutelepon kakakku, Ivon. Kuminta dia untuk datang dan memindahkan Radit ke RS. Duren Sawit. Ketika sedang mengurus administrasi, baru kutahu bahwa sebenarnya penyakit Radit adalah HIV/AIDS. Dan parahnya lagi, kakakku pun jadi tahu apa sebenarnya penyakit Radit. Hal yang sangat disesalkan atas kecerobohan perawat RS. Cipto Mangunkusumo karena tak dapat menjaga rahasia pasien. Serta merta kakakku sangat kaget dan membatalkan niatnya untuk membawa Radit ke RS. Duren Sawit dengan mobilnya. Meskipun akhirnya dia tetap menolong memindahkan Radit dengan menyewakan mobil ambulans. Kala itu sungguh moment yang sangat menyedihkan. Karena kulihat betapa Radit begitu di sia – siakan. Kakakku menyuruh aku untuk pulang saja, karena dianggapnya penyakit Radit itu berbahaya dan menular. Namun aku menolak. Aku tetap ingin mengantarkan Radit, meskipun didalam mobil yang berbeda. Aku berada didalam mobil kakakku, sedangkan Radit ada di dalam ambulans. Dan suara ambulans itupun nyaring berbunyi mengiringi suara tangisku.

Kurang lebih sepuluh hari Radit dirawat di RS. Duren Sawit. Awalnya kulihat kondisinya semakin baik. Tetapi ternyata kondisi baik itu tak berlangsung lama. Radit mulai diare lagi dan kondisi ini semakin parah. Di lain sisi, Ibu Radit mulai tampak marah padaku, karena dia lihat aku seperti mulai jijik mendekati Radit.

Aku akui bahwa aku memang agak menjaga jarak dengan Radit meskipun tiap harinya aku selalu menemani Radit. Aku mulai tak berani memegang tangan Radit, mencium pipi Radit, bahkan untuk mengobrol dengan Radit pun aku seperti menjaga jarak. Dan Radit sangat menyadari hal itu. Namun Radit seperti tak dapat menyalahkan sikap aku yang seperti itu, yang akhirnya dia hanya bisa melampiaskan amarahnya kepada Ibunya saja. Dan itu membuat pertengkaran antara aku dan Ibu Radit terjadi. Sungguh aku sangat menyesalkan hal itu. Akupun tak diijinkan lagi untuk menengok Radit. Cukup lama aku tak menengok Radit di RS. Duren Sawit, hingga kudengar kabar bahwa Radit sudah pulang ke rumahnya di Karawang.

Aku selalu mencoba untuk menelponnya, tapi seringkali HP Radit tidak aktif. Aku seperti kehilangan kontak dengan Radit. Lalu aku putuskan untuk datang ke Karawang untuk menengok Radit. Aku bertekad keras meskipun aku takut, kalau nantinya mungkin aku diusir oleh Ibunya. Namun aku tak peduli. Rasa bersalah dan penyesalan membuatku ingin sekali menemui Radit.

Kulihat di muka Radit, seperti sangat senang melihat aku datang menengoknya. Setelah aku mengobrol cukup panjang dengannya, aku pamit untuk pulang. Kucoba meraih tangannya dengan maksud untuk mencium tangannya, betapa aku sangat sedih ketika dia menarik tangannya kembali dan mengatakan “ Jangan ah”. Di situ aku menyimpulkan betapa Radit sangat malu kepadaku dan seolah-olah tak ingin penyakitnya itu menulari padaku.

Sungguh, hal itu membuatku menangis dan sangat menyesal seumur hidupku. Tak seharusnya ketika dia masih di RS. Duren Sawit, aku menjaga jarak dengannya, karena dengan penyakitnya itu saja sudah cukup membuat dia sedih, ditambah lagi dengan sikapku yang seperti menjaga jarak dengan dirinya, sudah pasti akan membuat hidupnya semakin tak berarti. Tak disangka hari itulah terakhir kalinya aku berjumpa dengan Radit.
***

Tanggal 24 Juli 2006, seperti mendengar suara petir, ketika kakaknya menelponku dan memberi kabar bahwa Radit telah menutup usia. Serta merta aku ijin dengan kantorku untuk segera ke Karawang, karena jasad Radit akan segera dikuburkan.

Hampir sampai di rumah Radit, kulihat bendera kuning terikat di tiang dan kulihat banyak orang berkerumun didepan rumah Radit. Dan ketika aku telah sampai dirumahnya, kulihat jenasah Radit sedang di mandikan dan betapa kagetnya aku, Ibu Radit yang semula marah padaku tiba–tiba memelukku dan meminta maaf. Kami pun menangis tak henti–hentinya. Kita semua merasakan kehilangan yang sangat besar atas meninggalnya seorang yang sangat kita sayangi.

Tak terasa dua setengah tahun sudah Radit pergi meninggalkanku, meninggalkan semua orang yang sangat menyayanginya. Meskipun kini dia telah tiada, namun kenangan dia tak pernah dapat kami lupakan. Dan entah sampai kapan kenangan itu akan terus membayangi hari–hariku, yang mana lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dapat dilupakan. Sudah pasti kenangan itu akan terus tertanam dalam hatiku. Tak jarang aku bertanya kepada diriku, kepada temanku, bahkan kepada Tuhan penguasa alam ini, apakah semua ini sudah merupakan suatu takdir atau kah karena kesalahan manusia belaka, sehingga Radit harus pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi.
Di dalam hati kecilku, selalu ku berharap, seandainya waktu dapat diputar kembali, aku ingin kejadian ini tak pernah terjadi.

Senin, 21 Juni 2010

TANPA KEKASIH


Setelah genap sebulan aku jadian dengan Randy, aku semakin yakin kalau aku nggak salah pilih dan benar-benar sudah menemukan belahan jiwaku, cinta sejatiku, cahaya hidupku, Randy adalah segalanya bagiku.


Aku mencintai dia dan akan selalu menyayangi dia untuk selamanya. Saat ini aku merasa puas karena penantian, dan usahaku selama ini berbuah kebahagiaan.

Telah sekian lama aku merasa menanti Randy menjadi milikku seutuhnya. Akhirnya, cerita cintaku saat ini sudah happy ending, tinggal sekarang aku dan Randy yang menjalaninya.


Dulu kami sering sekali bertengkar, hanya karena hal-hal kecil, kadang kami sampai ribut nggak menentu. Dulu sebagai teman, kami memang bukan teman yang cocok, kami saling menjatuhkan dan saling membenci. Tapi sekarang, benar kata orang-orang, kalau kamu membenci seseorang janganlah kamu sampai terlalu, dan hasilnya sekarang perasaan itu menjadi kebalikan bagi aku dan Randy, justru kami sekarang saling mencintai dan menyayangi. Tapi yang jelas, aku juga nggak mau kehilangan Randy, aku takut juga kalau aku terlalu mencintai dan menyayangi dia, bisa jadi aku dan dia akan terpisahkan.


“Hei Gel, kamu lagi ngapain? aku kangen deh sama kamu..”


“Halo Ran, kan baru kemarin kita ketemu, kamu gimana sih?”

Gel, kamu baik-baik ya di sana, jaga diri kamu dan jangan pernah lupakan aku ya sayang.”


“Kamu ngomong apa sih Ran? Kamu ngigau ya?”


“Nggak, maksud aku yah kamu jangan macam-macam di sana, kan di kampus kamu banyak banget tuh cowok-cowok keren, ntar ada yang godain kamu lagi, trus kamu lupain aku.”


“Ha-ha.....ha-ha.... ya nggak dong sayang, aku nggak akan tergoda sama cowok-cowok di kampus ini, nggak ada yang kayak kamu di sini, dan yang aku mau tuh cuma kamu seorang.”


“Hei, kamu udah pintar ngegombal yah, siapa yang ajarin, ayo ngaku?”


Randy, kamu apaan sih?! Udah deh, aku mau kamu kasih aku kepercayaan untuk berteman dengan teman-temanku. Asal kamu tau aku berterima kasih banget selama ini sama Tuhan karena aku udah bisa memiliki kamu.”


“Iya Angel, dan asal kamu tau juga cintaku lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan selama ini.”

Satu hal inilah yang selalu ditakutkan Randy, dia selalu bilang aku akan tergoda oleh cowok-cowok di kampus, sementara aku nggak begitu? Justru akulah yang paling takut Randy yang akan berpaling dariku, dia akan pergi meninggalkanku selamanya, dan cintanya hilang untukku.


Randy sekarang kerja di salah satu perusahaan asing terkemuka di kota Jakarta, sebagai cowok kalau kita melihatnya dengan kesan pertama, dia adalah cowok yang diimpi-impikan semua cewek, karena Randy punya segalanya, dengan modal wajah yang tampan, perilaku yang baik, kerja yang mapan, akupun takut dia akan pergi dariku, kalau seandainya ada cewek yang lebih menarik dariku, lebih sederajat dengan dia.


Randy menggenggam tanganku erat sekali, aku merasakan kenyamanan saat dia memegang tanganku. Aku merasakan cintanya begitu kuat untukku. Saat kami masuk ke sebuah toko buku, Randy bilang dia akan membelikan aku sebuah novel yang dulu sudah pernah dibacanya dan sekarang dia ingin aku juga membaca novel itu.


Setelah Randy membayar novel tersebut, Randy langsung menyerahkannya padaku. Aku kaget membaca sinopsisnya, ternyata novel itu berisi tentang kekuatan cinta yang tulus, yang akhirnya terpisahkan oleh maut, dan bagaimana sakitnya hati seorang kekasih saat menghadapi peristiwa kematian itu.


Ran, kenapa kamu kasih aku novel kayak gini?”


Gel, aku pengen banget kamu baca novel ini, karena kalau kamu baca novel ini, kamu bakal lebih mengerti lagi apa itu cinta sejati, kamu akan merasakan betapa sangat berartinya orang yang mencintai kamu, pokoknya ceritanya bagus deh, kamu pasti nggak bakalan nyesal kalau baca novel ini, dan setelah membacanya, aku juga yakin kamu akan semakin sayang sama aku, he-he... he-he ...”


“Ih, kamu!! Ke-GR-an banget sih kamu, masa cuma gara-gara baca novel ini aku bisa semakin sayang sama kamu.”


“Eh, benaran, percaya deh sama aku. Kalau nggak, ntar kamu boleh musuhin aku lagi deh kayak dulu.”


Randy!! Kamu ngomong apaan sih, ya udah-udah, aku baca novelnya, kamu kira aku bakalan senang yah kalau kita musuhan lagi.”


Randy aneh sekali hari ini. Tadi siang dia ngomong yang nggak-nggak di telpon, dan malam ini dia juga menyuruhku membaca novel yang isinya aneh, tentang kematian.


Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang, kata kematian terasa terngiang-ngiang di telingaku. Entah kenapa aku semakin ketakutan, takut akan kematian, takut akan kehilangan.


Peganganku semakin aku kuatkan ke pinggang Randy, aku peluk pungungnya dan aku sandarkan wajahku ke sana. Aku merasakan lagi kalau aku bersama Randy, saat ini mungkin Randy sedang tersenyum karena dia merasakan cintaku besar untuknya.


Sambil mengenderai motornya, sesekali dia menoleh ke belakang untuk melihatku, Randy seperti orang yang was-was. Aneh, di sepanjang jalan aku terus kepikiran. Dan akhirnya bunyi keras dan goncangan hebat membuat aku kaget, nggak hanya goncangan, tapi sakit yang luar biasa di kepalaku, aku merasakan pusing serasa dunia ini berputar sangat kencang sekali, penglihatanku kabur, aku berusaha untuk menyadarkan diriku sendiri, apa yang sebenarnya terjadi.


Tiba-tiba aku melihat Randy yang sedang tidur di jalanan, samar-samar aku melihat dia seolah-olah tidur nyenyak, aku merasa mimpi, mana mungkin Randy tidur di jalan, perasaan baru tadi aku boncengan dengan dia.

Aku berjalan mendekati dia, tapi orang-orang yang ramai lebih dulu menghampiri dia, aku semakin kesakitan, aku nggak kuat lagi dan akhirnya yang aku lihat hanya kegelapan.


Angel, kamu nggak apa-apa sayang, ini Mama.”


Aku pandangi wajah Mama. Dia seperti orang yang ketakutan, aku melihat sekelilingku, tiba-tiba aku baru sadar, selintas kejadian tadi malam teringat lagi olehku.


Ma, Randy mana? Dia baik-baik aja kan?”


Angel, nanti aja, kamu istirahat dulu, kamu masih sakit sayang.”


“Nggak Ma, Angel nggak merasa sakit apa-apa, sekarang Angel mau lihat Randy, dimana dia Ma?”


Angel, luka kamu belum kering betul, tadi kamu terus-terusan ngigau kalau kamu ngerasain sakit.”


Ma, Angel nggak ngerasa sakit, benaran, nggak tau kenapa Angel ngerasa sehat dan kuat Ma, sekarang pokoknya Angel mau ketemu Randy, pasti saat ini dia butuhin Angel banget.”


Angel, saat ini Randy nggak butuh siapa-siapa lagi, dia udah aman Angel, dia udah tenang di sana, sekarang udah bahagia dengan kehidupannya sendiri, ada yang menjaga dia di sana.”


“Apa? Apa Ma, maksud Mama? Mama bohong!! Angel nggak percaya, nggak mungkin, nggak mungkin itu terjadi sama Randy, dia udah janji Ma nggak akan pernah ninggalin Angel, dia sayang Angel, Angel sayang Randy Ma .... nggak, nggak mungkin....”


Teriakanku membuat semua suster datang ke tempatku, mereka berusaha menenangkanku, tapi aku nggak bisa, air mataku mengalir terus tiada hentinya, salah seorang suster baru saja akan memberiku suntikan penenang, tapi cepat-cepat aku elakkan.


“Tolong jangan suster, saat ini aku nggak butuh itu, aku hanya ingin menangis, aku nggak rela, aku marah sama Randy, kenapa dia berani pergi ninggalin aku, padahal dulu dia udah janji nggak akan pernah pergi dariku, tapi kenapa Randy bohong, kenapa sekarang justru dia pergi selamanya, dan aku tau dia nggak akan pernah kembali lagi kan untukku? Kenapa kamu tinggalin aku Randy?”


Angel, ini udah takdirnya, waktu Randy udah habis di dunia, kamu jangan pernah marah sama Randy sayang. Kamu harus yakin kalau sekarang Randy udah bahagia di sana.”


Ma, kenapa justru Randy, kenapa bukan Angel aja yang ada di sana? Angel mau kok Ma, Menggantikan Randy, karena Angel sayang sama Randy Ma, atau biarkan Angel untuk bersama dia sekarang, Angel pengen menyusul dia Ma, Angel nggak mau hidup di dunia ini tanpa dia, percuma Ma, percuma kalau nggak ada Randy di sini, hidup Angel nggak ada arti apa-apa.”


Dengan cepat suster-suster itu memegang seluruh tubuhku, dan sesaat kemudian aku tertidur, di alam mimpi Randy datang padaku. Dengan pakaian yang serba putih Randy tersenyum padaku, dia berjalan mendekatiku, dia kelihatan senang sekali, seolah-olah dia mendapatkan kebahagiaan yang baru, yang tiada duanya di dunia, melihat Randy terus-terusan tersenyum, rasanya aku ingin sekali ikut bersama dia, ikut merasakan kebahagiaan yang dia rasakan saat ini. Aku berusaha memeluknya dan menggenggam tangannya, dia membalas pelukanku, dia mendekapku, kembali aku meerasakan kenyamanan bersamanya, aku merasakan dia memberiku kekuatan, ketegaran, dia membelai rambutku dengan penuh rasa sayang, tapi pelan-pelan dia melepaskanku, dia justru menjauh dariku, semakin jauh, jauh dan hilang dari penglihatanku.


Saat aku sadar, aku menangis lagi, aku bukan menangis karena menahan sakit pada kepalaku, tapi aku menangis karena hatiku yang terasa amat sakit. Sekarang dunia bagiku terasa kelam, hujan nggak hanya membasahi bumi, tapi hujan membasahi kehidupanku, hatiku seolah-olah nggak berhenti menangis, menangisi orang yang telah pergi untuk selama-lamanya, dia nggak akan pernah kembali lagi.


Tiba-tiba mataku tertuju pada novel yang ada di atas meja, aku baru ingat kalau itu adalah novel yang dibelikan Randy kemarin. Aku buka satu demi satu halaman novel itu, beberapa menit kemudian aku tenggelam dalam ceritanya. Aku menangis membaca novel itu, sekilas aku seolah-olah melihat wajah Randy tersenyum di langit yang mendung di luar sana.


Entah kenapa sekarang aku kembali merasakan kekuatan itu, kekuatan cinta yang diberikan oleh Randy, aku merasakan dia ada di dekatku, merangkulku, menenangkanku, aku dapat merasakan cinta dan sayangnya.


Randy, aku sangat mencintai dan menyayangi kamu, aku yakin kamu bahagia di sana, walaupun kamu sudah pergi dari kehidupanku, tapi kamu nggak akan pernah pergi dari hatiku, kamu abadi untukku, Randy. Aku akan buktikan, kematianmu nggak akan pernah mengakhiri cintaku.***


Lirik Lagu ST12 – Saat Terakhir


tak pernah terpikir olehku

tak sedikit pun ku menyangka

kau akan pergi tinggalkan ku sendiri

begitu sulit ku menyangkal

begitu sakit ku rasakan

kau akan pergi tinggalkan ku sendiri


* di bawah batu nisan kini kau tlah sandarkan

kasih sayang kamu begitu dalam

sungguh ku tak sanggup ini terjadi

karna ku sangat cinta


** ini lah saat terakhirku melihat kamu

jatuh air mataku menangis pilu

hanya mampu ucapkan selamat jalan kasih


satu jam saja ku telah bisa

cintai kamu kamu kamu di hatiku

namun bagiku melupakanmu

butuh waktuku seumur hidup


satu jam saja ku telah bisa

sayangi kamu di hatiku

namun bagiku melupakanmu

butuh waktuku seumur hidup


di nantiku


repeat **


satu jam saja ku telah bisa

cintai kamu kamu kamu di hatiku

namun bagiku melupakanmu

butuh waktuku seumur hidup


satu jam saja ku telah bisa

sayangi kamu di hatiku

namun bagiku melupakanmu

butuh waktuku seumur hidup