Kamis, 29 Juli 2010

Dia adalah First Love Gue dan Cinta Pertama Sulit Dilupakan

Kemudian waktu pun berlalu, engga’ disadari usia gue semakin dewasa. Setelah lulus sekolah dasar, gue ngelanjutin pendidikan ke sekolah menengah pertama diJakarta. Berbagai penelitian membuktikan, usia-usia remaja adalah waktu yang penuh gejolak. Perubahan besar akan tabiat seorang anak bisa terjadi di usia itu.

Seperti juga gue, yang mulai memasuki tahap pubertas. Ada seorang gadis, V namanya. Dia adalah cewek di kelas gue, dan anak seorang Pengusaha di kota Jakarta . Pertama kali berjumpa denganya di perpustakaan sekolah, waktu itu adalah hari pertama bagi dia sebagai murid pindahan di sekolahku.

Engga’ salah lagi, dia lah first love gue, karena dia lah orang pertama yang buat gue tau rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Hari-hari selanjutnya, isi kepala gue hanya ada pikiran tentang dia seorang. Disaat itu pula, bakat pujangga gue pertama kali tampak. Gue jadi jago nulis puisi dan surat cinta, karena di jaman gue dulu belum tau sms apalagi fb. Surat-surat itu selalu kukirimkan 1 kali seminggu, bahkan kalo inspirasi gue lagi tinggi, bisa 3 kali seminggu. Surat cinta gue dirimkan lewat seorang teman yang jadi ma’ comblang antara gue dengan dia.

Lagu-lagu metal kegemaran gue ditinggalkan sebentar, karena gue jadi candu lagu-lagu cinta. Seperti lagu-lagunya bon jovi, bryan adam, Gill, The moffats, backstreet boys, boyzone, five minutes, stinky, java jive, adaband, kahitna. Itu menjadi sumber inspirasi dan khayalan gue tentang dia. Duit-duit koin juga gue kumpulin saban hari, buat nelpon dia melalui telpon umum yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari rumahnya.

Cinta pertama emang dapat membuat hati berbunga-bunga, perasaan hati gue bahagia tak terkira waktu itu.

Akhirnya waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hati pun tiba. Waktu itu ada sebuah acara yang diadakan oleh ikatan remaja di sekolah gue, dan kami berdua termasuk dalam kepanitiaan. Waktulah yang mempertemukan kami, berdua dan berdiri saling berhadap-hadapan. Tapi saat itu, lidah gue kelu untuk berkata. Hanya mengulum senyum simpul, sangat khas dan sering terlihat pada remaja puber kaya’ gue.

Dia sendiri sebenarnya sudah tahu apa yang ingin gue katakan, dan seakan menanti kata-kata itu. Tapi, gue tetap diam. “ada apa van, katanya ada yang mau diomongin”. Untuk waktu yang cukup lama dia menunggu, dan akhirnya berlalu dari hadapanku.

Mengingat kejadian itu, gue jadi tau. Ternyata sikap beku gue sudah mulai tampak dari pengalaman cinta pertama, yang gue herankan kenapa sikap itu muncul berbarengan dengan mimpi-mimpi gue yang selalu memuja dan mencari cinta sejati.

Sejak saat itu, dia engga’ pernah mau nerima surat gue, engga’ ngangkat telpon gue, apalagi ketemu. Hingga kemudian, gue akhirnya harus pergi untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di lain daerah. Sebelum pergi, emang pernah sekali berjumpa denganya. Dia sempat bertanya, tapi gue yang bodoh tetap menjawab seadanya, tanpa basa-basi ucapan perpisahan, apalagi harapan untuk berjumpa lagi.

Gue emang bodoh, seandainya saja waktu itu gue bisa bersikap lebih perhatian, mungkin sikap seperti itu akan keterusan sampai kini, dan ivan yang sekarang bukanlah seorang ivan yang takut mengungkapkan cinta. Sejak kejadian itu, si gadis bersama keluarganya pun tidak lama kemudian harus pindah ke daerah di pulau Jawa, mengikuti tugas dinas sang ayah yang merupakan seorang pengusaha sukses.

Menceritakan kehidupan ku yang sekarang, aku adalah seorang mahasiswa di sebuah universitas swasta yang terletak di pulau Jawa. Dan secara kebetulan aku kembali berjumpa dengan gadis itu, meski hanya lewat jalur dunia maya. Tapi, jodoh siapa yang tau ?. Dia adalah first love gue, dan cinta pertama sulit untuk dilupakan.


UTADA HIKARU - FIRST LOVE


Saigono kiss wa
tabakono flavor gashita
nigakute setsunaikaori

ashitano imagoroniwa
anatawa dokoniirundarou
darewo omotterundarou

you are always gonna be my love
itsuka darekatomata koiniochitemo
i’ll remember to love
you taught me how
you are always gonna be the one
imawa madakanashii love song
atarashi uta utaerumade

tachidomaru jikanga
ugokidasou to shiteru
wasuretakunai kotobakari

ashitano imagoroniwa
watashiwa kittonaiteru
anatawo omotterundarou

yay yay yeah

you will always be inside my heart
itsumo anatadakeno bashogaarukara
i hope that I have a place in your heart too
now and forever you are still the one
imawa madakanashii love song
atarashii uta utaerumade

you are always gonna be my love
itsuka darekato mata koiniochitemo
i’ll remember to love
you taught me how
you are always gonna be the one
mada kanashii love song yeah
now & forever ah…




Cinta Yang Salah

Setelah ku mengerti semua hal cinta ini
Semakin ku paham bahwa cinta itu sesuatu tanpa bentuk,
Tanpa makna yang jelas dan tanpa kepastian
Makin tak kupahami cinta dan cara kerjanya
Makin tak kukenali cinta dan rasa yang telah kuhadirkan untuknya
Semakin ku takut aku untuk mencintainya
Sehinnga aku memikirkanya di saat ini
Disaat aku mulai jenuh akan semua cinta yang ku cari


Akhirnya, kubiarkan Cinta tumbuh dan menjalar sesukanya.
Ku tak ingin lagi untuk mengerti cinta yang sebenarnya.
Mangenali maksud arah cinta itu
Dan memahami cinta itu untuk lebih lama lagi
Karena cinta tak harus memiliki, karena cinta tak bisa di paksakan...
Dan karena cinta hanya untuk orang-orang yang saling mencintai


Walau sedikit waktu akan cinta yang telah kuhadirkan untuknya
Tawarkan tawa mungkin juga tangis untukku.
Kunanti dengan sabar. …
Mungkin tahun ini, bulan ini, minggu ini, hari ini, atau saat ini juga.
Yah, mungkin saat ini….
Semoga saja aku yg tak mengerti, tak paham, dan tak kenal akan cinta yang sebenarnya, cepat sadar.
kalau saat ini,"Aku bukan orang yang tepat untuk kau cintai".

Bom Kuningan di Hotel JW Marriot-Ritz Charlton

Pagi ini, indah seperti biasanya. Di ruangan tamu, sambil menyeruput secangkir kopi hangat, kupangku putri semata wayang yang sedang asyik bermain dengan boneka kecilnya. Boneka itu, hadiah ulang tahunya yang sebenarnya mempunyai cerita tersendiri. Wanita yang paling kucintai juga duduk disampingku, merekah senyuman ketika melihat tingkah lucu putri kami. Tidak dapat pula kusembunyikan keceriaan akhir-akhir ini, kecintaan tiada tara pada isteriku semakin bertambah ruah setelah kutahu dia sedang hamil. Kami sedang menanti kelahiran satu lagi benih cinta dalam keluarga kecil kami .

Begitulah kebiasaan yang wajar terlihat dikala pagi sebelum aku berangkat kerja. Berusaha menyempatkan diri bercengkrama bersama keluarga kecilku, bercerita sejenak tentang apa saja yang mungkin akan dilewati hari ini. Mereka berdualah cinta sekaligus asaku, selayaknya aku yang tulus mereka cintai dan tempat menumpukan harapan. Meskipun aku hanyalah seorang karyawan restoran yang terletak di salah satu hotel mewah ibu kota.

Pagi ini, akupun tidak memiliki firasat apapun tentang kejadian yang akan kulalui. Karena seperti biasa, aku berusaha membiarkan hidup mengalir sesuai kehendaknya. Bagi orang biasa sepertiku, hanya doa dan kerja keras yang menjadi modal untuk dapat bertahan hidup. Setelah berkeluarga dan menjadi seorang ayah, aku semakin giat berusaha, kulakukan pekerjaan dengan ihklas dan sungguh-sungguh, semua itu demi menafkahi keluarga yang kucintai. Menjadi tulang punggung keluarga adalah kewajiban dan kebahagianku, selain tersirat pula keinginan untuk dapat membahagiakan kedua orang tua di usia senja mereka.

Namun, dalam waktu dekat ini, yang paling kunanti hanyalah satu. Atas izin Yang Maha Kuasa, akan tiba pula saat yang dinantikan. Andai waktu dapat bergulir cepat, ingin aku memohon segera hadir saat dimana aku dapat menyaksikan kehadiran satu lagi benih cintaku di muka bumi ini. Andai saja….

Dilokasi yang berbeda…

Pagi itu, seorang lelaki tampak berkonsentrasi mengerjakan sesuatu. Beberapa komponen keelektrikan berbeda ukuran dan jenis, serta berutas-utas kabel berwarna-warni bertebaran di lantai. Sepertinya dia sedang merangkai komponen-komponen itu menjadi satu kesatuan peralatan yang agar dapat difungsikan oleh waktu. Entahlah, hanya dia yang benar-benar paham apa yang sedang dikerjakan.
Lelaki itu sedang berada dalam salah satu kamar pada sebuh hotel termewah di negeri ini. Sudah sekitar 3 bulan dia menjadi penghuni, dan menurut rencananya hari ini adalah terakhir dia menjadi tamu di hotel ini. Semua barang-barang bawaan telah rapi dimasukkan ke dalam dua buah tas yang direbahkan di atas ranjang, selain masih ada satu pekerjaan lagi yang harus diselesaikan. Rangkaian peralatan itu sepertinya begitu penting sebelum keberangkatannya.

Penampilan lelaki ini cukup menarik untuk dipandang. Raut wajah yang tenang biasanya menandakan kesopanan budi pekerti dan halus tutur kata dari seseorang. Prasangka yang sudah menjadi kelumrahan masyarakat di negeri ini, untuk menilai seseorang dari penampilan luarnya terlebih dahulu.

Ada sekelumit sejarah yang patut diketahui tentang lelaki ini. Cukup lama dia pergi meninggalkan keluarga yang dicintainya tanpa kabar berita, dengan sebuah alasan yang hingga sekarang hanya dia yang tahu. Karena begitu besar keyakinan keluarga padanya, membuat mereka rela dan mendukung niat lelaki itu untuk mengembara demi niat yang tertanam dalam hati. Semenjak muda dia gemar menuntut ilmu, yang akhirnya membuat dia terpahamkan oleh ilmu. Pemahaman yang mengantarkan dia menemukan kawan, kelompok yang sama-sama memperjuangankan apa yang mereka pahami dan benarkan sendiri.

Di tempat inilah aku bekerja. Hari masih sangat pagi, belum banyak pengujung yang datang. Namun sebentar lagi, seperti biasanya pada saat penghuni hotel mulai beranjak melakukan aktifitas, kebanyakan dari mereka akan sarapan di restoran ini. Apalagi pagi hari ini merupakan agenda rutin mingguan dari sekelompok pengusaha penting negeri, mereka mengadakan pertemuan sekaligus sarapan di restoran ini. Tentu saja, merupakan keharusan jika keamanan dalam hotel sekaligus restoran ini sangat diperhatikan, karena selain merupakan salah satu hotel paling mewah yang ada, pengunjungnya pun sebagian besar adalah orang-orang penting. Tidak sedikit juga yang berasal dari luar negeri.

Ketika restoran sudah mulai ramai oleh pengunjung, akupun mulai disibukkan dengan pekerjaan rutin, melayani dengan ramah para pengunjung yang ingin mendapatkan sarapan pagi. Para pengusaha penting juga sudah menempati meja khusus yang sengaja disediakan. Aku berjalan menghampiri salah seorang dari mereka yang sudah cukup kukenal, bos besar pemilik salah satu perusahaan termuka di negeri ini. Terlebih dahulu kuawali dengan senyum dan tegur sapa, sebelum melaksanakan tugasku untuk mencatat pesanan yang mereka inginkan.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, sosok seorang lelaki berjalan perlahan memasuki pintu penghubung antara hotel dan restoran. Sambil menenteng sebuah tas dan menyandang ransel di pundaknya, dia berjalan semakin mendekat. Ternyata, jadi juga dia check out pagi ini, dan mungkin terlebih dahulu ingin sarapan sebelum pergi.

Wajah lelaki yang memang sudah tidak asing bagiku, dia sudah menjadi pengunjung tetap di restoran ini selama 3 bulan terakhir. Aku bahkan sudah hafal kebiasaanya setiap datang, setelah memesan makanan dan minuman, dia langsung memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela, mungkin agar dapat melihat pemandangan yang terlihat di luar restoran. Selain, dia juga suka mengamati keadaan sekitar di dalam restoran.

Dari penampilan, dia memang kelihatan nyentrik, jarang bicara, namun murah tersenyum setiap berpapasan dengan siapa saja. Sikap ramahnya itu yang membuat aku beranikan untuk mengobrol denganya di suatu siang. Waktu itu dia sedang menuggu pesanan makanan siang, dan aku melihat dia menanti sambil melihat foto seorang anak gadis.

Pembicaraan pun terjalin, setelah aku tahu yang di foto itu adalah anak gadisnya yang sudah lama tidak dijumpainya, akupun bercerita bahwa mempunyai seorang anak gadis yang seumuran dengan anaknya. Selanjutnya, dalam perbincangan seterusnya dia tidak banyak bicara, lebih banyak menyimak dan mengguratkan senyuman ketika aku bercerita. Tapi ada satu hal yang menarik, seakan ingin mengakhiri pembicaraan kami kala itu, dia mengeluarkan sebuah boneka beruang dari saku jaketnya yang berukuran besar. Boneka itu diberikan kepadaku, “Berikan ini sebagai hadiah untuk putri kecil mu”. Serba kebetulan karena ternyata beberapa hari lagi anakku memang akan berulang tahun, dan boneka itu kuberikan sebagai hadiah ulang tahun putriku. Begitulah aku menceritakan tentang lelaki sedikit misterius yang beberapa bulan ini sering kujumpai.

Kemudian aku menghampirinya, dia sedang berjalan menuju ke arah meja tempat diadakanya pertemuan oleh para pengusaha itu. Di meja pertemuan itu tampaknya si bos yang kukenal tidak berada di tempatnya, terakhir aku meilihat dia berjalan kearah toilet. Namun, selang beberapa detik setelah itu, aku tidak ingat beberapa kejadian selanjutnya.

Aku baru tersentak sadar, ketika kepala bagian kananku terasa sangat ngilu, seperti terkena hantaman benda keras yang sangat kuat. Ketika membuka mata, terkejut melihat seluruh bajuku bersimbah darah, dan aku terkapar di samping trotoar. Aku tahu tempat ini adalah jalan di depan restoran, tetapi kenapa aku disini ?.

Seluruh anggota tubuhku yang lain seperti mati rasa, kedua tangan dan kakiku tak dapat bergerak seperti tidak melekat di tubuhku lagi. Aku belum sempat memastikan apa yang terjadi pada tubuhku, sebelum akhirya kembali tidak sadar. Hanya sayup-sayup aku mendengar suara seseorang sebelum sepenuhnya tak sadarkan diri, itu adalah suara si bos. “Restoran telah di bom”.

Lirik Lagu Dewa – Hadapi Dengan Senyum

hadapi dengan senyuman
semua yang terjadi biar terjadi
hadapi dengan tenang jiwa
semua kan baik-baik saja

bila ketetapan Tuhan
sudah ditetapkan, tetaplah sudah
tak ada yang bisa merubah
dan takkan bisa berubah

relakanlah saja ini
bahwa semua yang terbaik
terbaik untuk kita semua
menyerahlah untuk menang

Sahabat Jadi Cinta

Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Alex temanku sudah menunggu diluar rumah nenekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.

“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku.

“Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk.

“Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.

“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”,

“Iya tapi cepat ya” pintanya.

Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah nenekku.

“Wah dingin ya.” kataku pada temanku.

“Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.

Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai.

“Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya.

“Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”,

“Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya.

“Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas.

“Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.

“Van!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku.

Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat.

“Lina?” tanya dalam hati penuh keheranan. Lina adalah teman satu SMK denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Lina juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana.

“Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku.

“Lina kan?” tanyaku padanya.

“Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Alex.

“Lex! Sini” panggilku pada Alex yang sedang asyik bermain basket.

“Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas.

“Ada yang dateng” jawabku.

“Siapa?”tanyanya lagi,

“Lina!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik.

“Siapa? Nggak kedengeran!”.

“Sini dulu aja pasti kamu seneng!”.

Akhirnya Alex pun datang menghampiri aku dan Lina. Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Lina yang tiba-tiba menyapanya.

“Lina?” tanyanya sedikit kaget melihat Lina yang sedikit berubah.

“Kenapa kok tumben ke Jakarta? Kangen ya sama aku?” tanya Alex pada Lina.

“Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Lina yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu.

“Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya.

“Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Alex sedikit lemas.

“Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.

Akhinya Lina mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Lina. Ketika kami sampai di rumah Lina ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 6 tahun.

“Lin, ini siapa?” tanyaku kepadanya.

“Kamu lupa ya ini kan Josh! Adikku.” jawabnya.

“Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”.

“Dasar pikun!” ejek Alex padaku.

“Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Alex.

“Nggak sih!” jawabnya malu.

“Ye sama aja!”.

“Biarin aja!”.

“Udah-udah jangan pada ribut terus.” Lina keluar dari rumah membawa minuman.

“Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua.

“Kalau aku jelas mau dong! Kalau Alex tau!” jawabku tanpa pikir panjang.

“Ye kalau buat Lina aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Alex padaku.

“Maaf banget Lin, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Lina.

“Oh gitu ya! Ya udah Van nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Lina padaku.

“Ok deh!” jawabku cepat. Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Lina terkesan dan pamit kenenekku aku langsung berangkat ke rumah nenek Lina.

Sampai dirumah Lina aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Lina pun keluar dan mempersilahkan aku masuk.

“Eh Ivan sini masuk dulu! Linanya baru siap-siap.” kata beliau ramah.

“Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Lina tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Lina.

“Lina ini Ivan udah dateng” panggil tante Vivi kepada Lina.

“Iya ma bentar lagi” teriak Lina dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Lina keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya.

“Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku. Setelah pamit untuk pergi aku dan Lina pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Lina.

“Van kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku.

“Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.

Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Lina. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Lina kami pun memutuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Lina aku disuruh mampir oleh tante Vivi.

“Ayo Van mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku.

“Ya tante.” jawabku pada tante Vivi. Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang.

Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam.

“Kemana aja tadi sama Lina?” tanya nenekku padaku.

“ Jalan-jalan di Mall !” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Lina. Kayanya aku suka deh sama Lina.

“Nggak! Nggak boleh aku masih kuliah semester awal, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati. Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Lina terus.

Akhirnya sore harinya Lina harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Alex datang kerumah Lina. Akhirnya keluarga Lina siap untuk berangkat.

Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Lina.

“Lina aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.

“Maaf Van aku nggak bisa kita masih terlalu muda!” jawabnya padaku.

“Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”

Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Lina dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Lina. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.





Lirik Lagu Zigaz - Sahabat Jadi Cinta


[Intro] B
B E
Kuhantarkan bak di pelataran
E G#m
Hati yang temaran
E B
Matamu juga mata mataku
C#m F#m
Ada hasrat yang mungkin terlarang
E B
Satu kata yang sulit terucap
E G#m
Hingga batinku tersiksa
E B
Tuhan tolong aku jelaskanlah
C#m F#m
Perasaanku berubah jadi cinta
[chorus]
B F#m
Tak bisa hatiku merafikan cinta
G#m F#m
Karena cinta tersirat bukan tersurat
E D#m
Meski bibirku terus berkata tidak
C#m F#m
Mataku terus pancarkan sinarnya
E B
Kudapati diri makin tersesat
E G#m
Saat kita bersama
E B
Desah nafas yang tak bisa truskan
C#m F#m
persahabatan jadi cinta
[chorus]
B F#m
Apa yang kita kini tengah rasakan
G#m F#m
Mengapakah kita coba persatukan
E D#m
Mungkin cobaan untuk persahabatan
C#m F#m B
Atau mungkin sebuah takdir Tuhan

Waktu dan Cinta

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak: ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya.

Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. Cinta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu.

Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu.

“Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!” teriak Cinta.

“Aduh! Maaf, Cinta!” kata Kekayaan, “Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini.”

Lalu Kakayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi.

Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya. “Kegembiraan! Tolong aku!”, teriak Cinta.

Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.

Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik.

Tak lama lewatlah Kecantikan.

“Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!”, teriak Cinta.

“Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini.” sahut Kecantikan.

Cinta sedih sekali mendengarnya.

Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan.

“Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu,” kata Cinta.

“Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja…” kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.

Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.

Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, “Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!”

Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya.

Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.

Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu.

Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu.

“Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu.” kata orang itu.

“Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku” tanya Cinta heran.

“Sebab,” kata orang itu, “Hanya Waktu lah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu.”

Sepertinya halnya Tuhan …
Seringkali kita berdosa dalam hidup kita…
Menyalahkan Dia untuk setiap kalinya bahkan berkali-kali dalam keseharian kita,
namun Tuhan selalu punya waktu disaat kita butuh Dia,
Tuhan selalu ada disaat kita berjalan dalam lembah kekelaman…

Mampukan kami untuk berjalan bersamamu Tuhan…
Selalu menghargai cinta dan pengorbananmu di dalam hidup kami,
karena engkau telah lebih dulu menghargai kami yang Kau jadikan biji mata-Mu

Sekali lagi, Tuhan telah beri waktu-Nya untuk kita,
karena begitu Ia mengasihi dan mencintai kita anak-Nya…
Sudahkah kita memberi waktu kita padaNya?

Kisah Sebuah Jam

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya.

“Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?”

“Ha?,” kata jam terperanjat, “Mana sanggup saya?”

“Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?”

“Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jawab jam penuh keraguan.

“Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?”

“Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam. “

Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”

“Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias.

Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali.

INTI KISAH INI :
Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa berat. Namun sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya, kita ternyata mampu. Bahkan yang semula kita anggap impossible untuk dilakukan sekalipun.

Jangan berkata “tidak” sebelum Anda pernah mencobanya.

Karena Cinta Tidak Selalu Berwujud Bunga

Kekasih saya adalah seorang yang sederhana, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Satu tahun dalam masa perkenalan, dan tiga tahun dalam masa pacaran, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Kekasih saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pacaran kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan putus.

"Mengapa?", tanya kekasih saya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan," jawab saya.

Kekasih saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

Dan akhirnya kekasih saya bertanya, "Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,"Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya :

"Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?"

Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan coret-coretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ......

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.
Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi 'aneh'. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu."

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir.

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.

"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya.

Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk bersamamu di dunia ini, tolong bukakan pintu rumahmu, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan kenangan-kenangan saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.
Karena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".

Tuhan Pernah Berbisik

Ketika aku kirimkan padamu seorang teman, Aku tidak memberikan seseorang yang sempurna karena engkau pun tak sempurna. Aku mempertemukanmu dengan teman-teman yang sama dengan mu, sehingga kalian dapat saling mengisi, berbagi dan bertumbuh bersama.

Jika kamu memancing ikan, ketika ikan itu terikat di mata kail, hendaklah angkat dan jagalah ia dengan baik. Janganlah sesekali kamu lepaskan ia begitu saja.... Karena ia akan sakit oleh karena ketajaman mata kailmu. Begitulah juga dalam kehidupan. Janganlah kamu banyak memberi banyak pengharapan kepada seseorang, bila memang rasa itu tak pernah ada.

Ketika kamu menyukai seseorang dan ia mulai menyayangimu, hendaklah kamu bisa menjaga hatinya. Janganlah sesekali kamu meninggalkannya begitu saja. Karena ia akan terluka oleh kenangan bersamamu dan mungkin tidak dapat melupakan segalanya selagi dia mengingat... ..

Jika kamu menadah air biarlah berpada, jangan terlalu mengharap pada takungannya dan janganlah menganggap ia begitu teguh, tapi cukupkan sebatas apa yang kamu perlukan. Karena bila sekali ia retak, akan sukar bagimu untuk menjadikannya kembali seperti semula. Akhirnya kamu akan kecewa dan ia akan dibuang.

Begitu juga jika kamu memiliki seseorang, terimalah seadanya. Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan janganlah kamu menganggapnya begitu istimewa. Anggaplah ia manusia biasa. Sehingga apabila sekali ia melakukan kesilapan maka akan lebih mudah bagi kamu untuk menerima ketidak sempurnaannya dan memaafkannya. Berbagilah kasih, berusahalah saling menerima dan peliharalah sifat mudah memaafkan, dengan demikian persahabatan menjadi lebih indah.

Jika kamu telah memiliki sepinggan nasi yang pasti baik, putih dan sehat untuk dirimu, mengapa kamu harus berlengah dan mencoba mencari makanan yang lain ? Begitu juga ketika kamu bertemu dengan seorang yang membawa kebaikan kepada dirimu, menyayangimu, mengasihimu dengan tulus dan sepenuh hati, mengapa kamu harus berlengah dan mencoba membandingkannya dengan yang lain?. Ingatlah, jangan
pernah mengejar kesempurnaan, karena kelak, kamu akan kehilangan yang terbaik yang sudah kau raih dan kamu akan menyesal.

Ya Tuhan, terima kasih bisikan indahmu. Aku mohon ya Tuhan, ketika aku menyukai seorang teman, tolong ingatkanlah aku bahwa di dunia ini tak akan pernah ada sesuatu yang abadi. Pada masanya, segala sesuatu itu pasti akan berakhir. Sehingga ketika seseorang meninggalkanku, aku akan tetap kuat dan tegar karena aku bersama Yang Tak Pernah Berakhir, yaitu cinta mu ya Tuhan...

Orang bijak berucap Mencintai seseorang adalah keharusan Dicintai seseorang adalah kebahagiaan Tapi dicintai oleh Sang Pencinta adalah segalanya

Persahabatan

Persahabatan itu seperti tangan dengan mata ...

Saat tangan terluka, mata menangis ...
Saat mata menangis, tangan menghapusnya ...

Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah. Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya.

Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.

Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur-disakiti, diperhatikan-dikecewakan,d
idengar-diabaikan, dibantu-ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.

Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya.

Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.

Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain,tetapi justru ia beriinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.

Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.

Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.

Persahabatan itu indah bila didasari ketulusan hati bukan karena suatu hal. Lakukanlah persahabatan yang tulus yang akan terbawa sampai akhir.

Persahabatan bagaikan bayangan tubuh kita selalu menemani sepanjang waktu ...

Beberapa hal seringkali menjadi penghancur persahabatan antara lain:
1. Masalah bisnis UUD (Ujung-Ujungnya Duit)
2. Ketidakterbukaan
3. Kehilangan kepercayaan
4. Perubahan perasaan antar lawan jenis
5. Ketidak setiaan..

Tetapi penghancur persahabatan ini telah berhasil dipatahkan oleh sahabat-sahabat yang teruji kesejatian motivasinya.


Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri.

"Dalam masa kejayaan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman-teman kita.."

Hargai dan peliharalah selalu persahabatan anda dengan mereka.

Hidup Untuk Apa?

Apa tujuan hidup Anda? Cobalah sejenak memikirkan, merenungkan, dan menggumuli pertanyaan itu. Itu penting agar hidup kita tidak seperti layangan putus, terombang-ambing.

Tuhan menciptakan dan memberi kita hidup, tentunya tidak sekedar untuk mati. Pasti ada misi bagi kita. Ada dua misi, yaitu misi individual dan misi universal. Misi universal yang berlaku bagi semua orang percaya adalah menjadi garam dan terang dunia.

Garam dapat mencegah pembusukan daging dan memberi cita rasa pada makanan. Orang romawi dulu bahkan menganggap garam sebagai benda paling bersih dan jernih, karena berasal dari dua benda yang juga paling bersih dan jernih, yaitu matahari dan laut. Karena itu, garam selalu dihubungkan dengan kemurnian.

Adapun Terang memampukan kita untuk membedakan jalan yang benar dan salah. Terang juga dapat menjadi alat penyelamatan. Dan banyak lagi manfaat terang. Bahkan sesungguhnya, tapa terang dunia, tidak akan pernah ada kehidupan.

Itulah misi kita yang sesungguhnya, menjadi garam dan terang. Apakah orang-orang di sekitar kita betul-betul bersyukur dengan kehadiran kita? Pertanyaan ini baik menjadi bahan intropeksi kita, untuk menilai sejauh mana kita sudah mengemban misi kita.

Ada seorang yang sejak muda sangat gigih untuk mengejar keberhasilan. Dan betul, ia berhasil. Ia tidak saja menjadi orang sangat kaya, tapi juga pandai dan punya jabatan tinggi. Semua orang terkagum-kagum dengan kesuksesannya. Tetapi, ketika ia sudah tua dan pensiun, ia menengok kehidupan yang sudah ia jalani, dan merasa sangat hampa. “Semua itu seperti usaha menjaring angin,” katanya, “sia-sia di atas segala kesia-siaan.”

Kita semua pada dasarnya sedang menunggu giliran untuk bertemu dengan kematian. Hari ini si Polan, kemarin si Pulin, besok entah siapa lagi. Suatu saat akan tiba giliran kita. Entah kapan, tetapi pasti. Pertanyaannya, apa yang akan dikenang orang ketika kita tiada? Akankah kita hilang dan dilupakan?

Ada cerita tentang seorang pria yang mempunyai 4 istri. Suatu saat pria itu sakit parah, dan sudah hampir mati. Ia ingin istrinya menemani sampai pada kematiannya. Maka, dipanggillah istri ke empat, wanita yang cantik jelita dan seksi.

“Istriku, aku akan mati. Temani aku, sampai aku mati,” pintanya.

“Menemanimu sampai mati? Tidak, aku tidak mau,” jawab si istri sambil pergi tanpa menoleh lagi kepadanya.

Istri ketiga dipanggil, wanita dengan berpenampilan modis dan trendi. Permintaan yang sama dia ajukan.

“Apa? Menemanimu sampai mati?” sahutnya. “Tidak mau. Lebih baik aku menikah lagi.”

Istri kedua dipanggil, wanita berpenampilan biasa. Kepadanyalah sang suami sering meminta pendapat tentang berbagai hal.

“Istriku, tak lama lagi aku akan mati, aku ingin sekali kamu ikut denganku,” pinta si suami.

“Aku tidak bisa sekalipun aku mau,” jawab si istri. “Aku hanya bisa menemanimu sampai lubang kubur.”

Terakhir, Istri pertama, wanita sederhana. Permintaan yang sama diajukan padanya,

“Suamiku,” jawab sang istri. “Tidak usah khawatir. Tanpa kamu minta, aku akan menyertaimu selamanya, bahkan sampai pada kematianmu.”

Pada dasarnya, kita memiliki empat “istri”. Yang pertama, tubuh jasmani kita. Betapa pun baiknya kita menjaga dan merawatnya, tubuh jasmani akan meninggalkan kita, hilang tanpa bekas. Yang kedua adalah kekayaan dan jabatan. Ketika meninggal, kita tidak akan membawanya serta, dan justru akan beralih keorang lain. Ketiga adalah teman-teman, kerabat dekat, dan keluarga kita; seberapa pun besarnya kasih sayang mereka kepada kita, mereka hanya bisa mengantar kita sampai ke lubang kubur, tidak lebih. Yang keempat adalah iman dan karya kita selama hidup didunia, yang akan menyertai kita sampai mati.

Maka, benarlah kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, sedang manusia mati meninggalkan karya; Karya untuk Tuhan dan sesama. Dengan menjadi garam dan terang dunia; kita dapat membuat dunia ini lebih baik.

Potret Kemiskinan

Lama dari mereka terbuang, begitu mudah tersingkirkan. Di tengah kekuasaan dan kerakusan mengantar ruang kenistaan. Bertahan dari keadaan, berjuang untuk hidup. Bukan mereka pemalas, ataupun pembual belaka adanya. Mandi keringat, banting tulang tak segan mereka lakukan,meskipun hanya untuk bertahan hidup.

Teringat kembali ku pada sebagian kisah diantaranya,..mati bersama yang tersayang

Bersama 4 buah hatinya, pemulung lusuh mencoba bertahan,i stri menghilang pergi bersama kelaliman,t anpa kesetiaan dan tanggung jawab. Menyusuri jalan,mengais bersama sampah, bau busuk sahabatnya. Tak malu ia menunggu,… sebagian orang yang membuang sisa makanannya.Ya,… ya,.. hanya tuk bertahan.

Hidup yang selalu di hampiri kesedihan, setiap pulang buah hatinya kian selalu menanyakan “bapak bawa apa?”, “ibu kapan pulang?”, “kenapa kami tak sekolah?”, pedih,… perih,.. menusuk dalam hati yang terasa pasti. Terbesit hati tuk mengakhiri penderitaan yang di alami kian terus menghantui. Pemulung itu mencoba meracuni buah hatinya dan mati bersama mereka. Di putuskannya hal itu.

Dengan menjual apa apa yang masih dia punya dan apa apa yang ada, di belikannya baju-baju indah tuk buah hatinya, di belikannya makan makanan lezat tuk buah hatinya dan meracuninya.,,,

” Nak sini, kita berkumpul, bapak ada kabar gembira untuk kalian. Hari ini bapak banyak rejeki, maka bapak belikan ini untuk kalian, dan baju ini dari ibu kalian. Besok ibu… ingin bertemu kalian dengan memakai baju ini, besok pagi sekali kita berangkat, maka pakailah baju ini sekarang supaya besok tidak terlambat”

Serasa angin syurga menyapa anak anak itu, ceria dengan baju baju itu .

“Sekarang makanlah kalian”

“Tidak,.. kami mau bapak yang menyuapin kami” Sahut anak sulungnya

Senyum bersama tangis hati, merona di muka pemulung, “Baiklah,, bapak akan menyuapin kalian satu persatu, dari puteri (anak bungsu) dulu ya,,?”

Mengangguk mereka seraya tak sabar menunggu. Satu persatu di suapinnya,p enuh keceriaan di muka mereka dan seusainya di suruh tidur mereka, saatnya giliran pemulung yang makan makanan itu.

Bersama malam gelap gulita,…tlah terasa senja tiba, manakala menyapa seorang teman dari pintu luar…. Guna mengajak mengais sampah.

“Man….. Tugiman … kamu gak kerja ya…?”

Terbangun kaget pemulung… “Di mana aku,..ini Syurga.. apa Neraka..?”

Melihatnya ke samping buah hatinya masih tertidur, mencoba membangunkan mereka,.. dan,… tak bangun jua,…

“Mereka,… mereka,… tlah mati,… aku,..membunuh mereka, kenapa ku tak bersama mereka?”

Hanya tangis kesedihan penuh penyesalan,.. karena terundang suara tangisan,sesegera mungkin teman di luar,masuk rumah pemulung.

Sekarangpun pemulung itu harus meratapi kesedihannya di balik jeruji besi.

Sebenarnya siapa yang seharusnya merasa paling bersalah dalam kisah ini.

8 Kado Indah

Delapan macam kado ini adalah hadiah terindah dan tak ternilai bagi orang-orang yang Anda sayangi.

Kehadiran. Kehadiran orang yang dikasihi adalah kado yang tak ternilai harganya. Memang kita bisa juga hadir lewat surat , telepon, foto, atau email. Namun dengan berada di sampingnya, Anda dan dia dapat berbagi perasaan, perhatian, dan kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Jadikan kehadiran Anda sebagai pembawa kebahagiaan.

Mendengar. Sedikit orang yang mampu memberikan kado ini. Sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan ketimbang mendengarkan. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, secara tak langsung kita juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati. Untuk bisa mendengar dengan baik, pastikan Anda dalam keadaan betul-betul relaks dan bisa menangkap utuh apa yang disampaikan. Tatap wajahnya. Tidak perlu menyela, mengkritik, apalagi menghakimi. Biarkan ia menuntaskannya, ini memudahkan Anda memberikan tanggapan yang tepat setelah itu. Tidak harus berupa diskusi atau penilaian. Sekedar ucapan terima kasih pun akan terdengar manis baginya.

Diam. Seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir, atau membingungkan orang. Tapi lebih dari segalanya, diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seseorang karena memberinya “ruang”. Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasehati, mengatur, mengkritik, bahkan mengomel.


Kebebasan. Mencintai seseorang bukan berarti memberi kita hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupannya. Bisakah kita mengaku mencintai seseorang jika kita selalu mengekangnya? Memberi kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Makna kebebasan bukanlah “kamu bebas berbuat semaumu”. Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang ia putuskan atau lakukan.


Keindahan. Siapa yang tak bahagia, jika orang yang disayangi tiba-tiba tampil lebih ganteng atau cantik? Tampil indah dan rupawan juga merupakan sebuah kado yang indah. Selain keindahan penampilan pribadi, Anda pun bisa menghadiahkan keindahan suasana di rumah. Vas dan bunga segar cantik di ruang keluarga atau meja makan yang tertata indah, misalnya.


Tanggapan Positif. Tanpa sadar, sering kita memberikan penilaian negatif terhadap pikiran, sikap, atau tindakan orang yang kita sayangi. Seolah-olah tidak ada yang benar dari dirinya dan kebenaran mutlak hanya ada pada kita. Kali ini, coba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir Anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya demi Anda. Ingat-ingat pula, pernahkah Anda memujinya? Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian (dan juga permintaan maaf) adalah kado indah yang sering terlupakan.


Kesediaan Mengalah. Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran. Apalagi sampai menjadi pertengkaran yang hebat. Bila Anda memikirkan hal ini, berarti Anda siap memberikan kado “kesediaan mengalah”. Kesediaan untuk mengalah juga dapat melunturkan sakit hati dan mengajak kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.


Senyuman. Percaya atau tidak, kekuatan senyuman amat luar biasa. Senyuman, terlebih yang diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputusasaan, pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang resah. Senyuman juga merupakan isyarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling kita. Kapan terakhir kali Anda menghadiahkan senyuman manis pada orang yang dikasihi.

Ilalang Kampus

Selamat pagi kampus. Pagi yang gerah walaupun sang fajar masih malu-malu muncul di antara awan yang berarak. Mentari pagi itu membiaskan harapan dengan cahayanya yang lembut. Tapi sering kali ia bohong, janji awal kehidupan yang baik itu, biasanya ingkar ketika siang tiba. Kelembutan sang fajar kadang-kadang berganti menjadi garang dan membakar atau ia malah lenyap dan mempersembahkan hujan lebat.

Cahaya lembut pagi berpadu dengan dingin hingga menghasilkan embun. Titik air di atas daun itu tak pernah tergesa-gesa untuk jatuh ke bumi. Kontras dengan para mahasiswa, dosen dan pegawai di Kampus Berkaca Biru ini, meski malam baru saja di singkap matahari, mereka telah berarak memenuhi kampus. Mereka menyambut kedatangan keluarga baru, mahasiswa-mahasiwa baru yang dinyatakan lulus dan berhak mengenyam pendidikan di kampus ini, manusia-manusia berpakaian putih hitam. Ingatanku melesat jauh ke satu tahun yang lalu.

Aku berdiri di sebuah barisan bersama lainnya. Berbagai imaji bergeliat liar di kepalaku ketika itu, di labirin berpikir seorang mahasiswa baru yang baru saja lulus jenjang pendidikan SMU. Seorang siswa yang dengan mulus mampu lulus dari jerat Ujian Akhir Nasional dan dengan keberuntungannya berhasil berstatus mahasiswa Fakultas Ekonomi ’Kampus Biru’. Kampus, tempat ini telah lama menghiasi mimpi-mimpiku, tempat mahasiswa bergeliat dengan seabrek kegiatannya, berkuliah, berinteraksi dan berbagai kegiatan humanis lainnya.

Kala itu aku berharap dapat menempuh kegiatan akademik dengan menggunakan pakaian bebas, rupanya aku salah. Aku dan juga mahasiswa baru lain masih diwajibkan berseragam seperti ketika di sekolah dulu. Kami di wajibkan memakai pakaian berwarna seragam, putih dan hitam.

Mahasiswa-mahasiswa baru, teman-temanku kala itu, tampak beragam. Ada yang menyebut diri mereka adalah anak kota yang dahulu bersekolah di sebuah SMU pusat bukan SMU cabang, istilah yang selalu di gaungkan untuk mereka yang berasal dari sekolah daerah. Meski berasal dari kota yang sama namun mereka tetap beragam. Ada yang terlihat sederhana. Berpakaian seadanya. Berkendaraan umum. Tetapi ada pula yang terlihat mencerminkan masyarakat urban yang berkelas. Pakaian yang bermerk. Gaya berpakaian yang terlihat modern. Bahkan ke kampus dengan kendaraan pribadi. Bahkan terkadang mereka memilih teman, hanya bergaul sesamanya.

Sebagian mahasiswa baru berasal dari daerah. Individu-individu tersebut biasanya menyatu dalam sebuah kelompok berdasarkan asal mereka masing-masing. Beberapa di antara mereka memiliki bekal yang cukup untuk menjadi perantau. Biasanya mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Tetapi ada yang hanya membawa mimpi dari sebuah kampung nun jauh disana, dari sebuah desa entah berantah. Secara fisik mereka tampak sederhana tapi dalam pikiran mereka tersimpan angan yang begitu tinggi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Kelompok terakhir ini yang biasanya mendominasi organisasi kemahasiswaan.

Bagaimanapun keanekaragaman itu, semua menyatu dalam sebuah kegiatan penyambutan Mahasiswa Baru. Satu kegiatan, satu metode, satu sistem untuk beragam individu. Melebur perbedaan menjadi satu untuk menciptakan kebersamaan dan kesolidan. Sebuah proses yang tidak sekedar mengajarkan pengetahuan akademik dan kemampuan intelektual tetapi lebih dari itu kegiatan ini mampu membawaku ke ranah kecerdasan emosi, memberi jalan untuk memahami arti kedewasaan, bahkan membuatku mengerti arti perubahan. Memang kesadaran itu tak datang hari itu juga, namun kegiatan inilah yang membukanya, kegiatan inilah yang memulainya.

Seingatku, beberapa orang yang menyebut diri mereka senior terus berorasi di depan kami, walaupun terkadang kami tak mengerti dengan apa yang mereka sampaikan. Kata-kata mereka tidak familiar di telinga.

Setelah proses penyambutan dinyatakan selesai, di sinilah kami di hadapkan pada beberapa pilihan. Memilih jalan menjadi mahasiswa baru yang datang ke kampus, tidak mencoba menceburkan diri dalam organisasi apapun, belajar, lulus dan setelah itu terserah hendak kemana. Atau mencoba berjuang dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan, namun dilakukan setengah-setengah. Atau menjadi mahasiswa yang kritis terhadap keadaan sekitarnya.

Aku tak begitu yakin memilih pintu yang mana di kala itu. Dengan keluguanku, aku mengenyam bahwa mahasiswa punya tanggung jawab sosial. Dengan kepolosanku, aku ingin berjuang dan dengan senang hati akan menceburkan diri dan bergeliat dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Kharisma serta retorika para senior-senior itu seakan menghipnotisku untuk memikul keharusan moral untuk membuat bangsa ini lebih baik.

Ketika ilalang-ilalang kampus menjemput diri
Sesuatu terpatri lugu dalam sanubari
Kutitip ego saat asa mengikuti
Ego yang membuatku berdiri, berlari dan terus berlari
`tuk menggapai cita dan impian yang pasti

***

Hari terus berlari, minggu bergulir dan bulan pun terus berganti. Tidak cukup setahun aku sudah begitu lekat dengan langkah-langkah seseorang aktivis kemahasiswaan. Kegiatan demi kegiatan aku ikuti, sebagai peserta hingga sebagai panitia. Aku pun semakin giat mencari literatur yang mampu menunjang kegiatan-kegiatanku. Membaca buku dan berdiskusi.

Seiring langkahku yang terus mengayuh, semakin dalam aku selami organisasi kemahasiswaan itu. Namun makin aku hanyut dan tenggelam, makin aku dapati penyimpangan-penyimpangan. Banyak hal yang berbenturan dengan ideologi yang mereka ukir di setiap sel-sel otakku semenjak aku dinyatakan sebagai mahasiswa baru. Mungkinkah karena aku yang terlalu termakan retorika hingga masuk dan terjun ke dunia ini hanya karena ikut-ikutan? Hanya sebagai bentuk aktualisasi diri agar bisa menjadi senior yang berbicara di depan mahasiswa baru yang belum mengerti banyak?

Gerakan mahasiswa layaknya pertarungan dalam kekuasaan negara yang penuh dengan kepentingan. Kepentingan-kepentingan pribadi untuk mencapai ambisi masing-masing. Saat pemilihan ketua lembaga misalnya, semua membawa kepentingan dan isu masing-masing. Kekuatan pikiran digunakan untuk memenangkan calon tertentu agar bisa mendapatkan “sesuatu”. Apakah ada perjuangan yang murni? Entahlah aku tak bisa menjawabnya.

Kebesaran organisasi kemahasiswaan hanyalah masa lalu. Hanyalah dongeng senior. Mahasiswa kini hanya bisa terpukau tanpa bisa memukau. Hanya mengamat tanpa bisa berbuat. Hanya mampu menatap namun enggan melangkah dengan mantap. Terpenjara oleh sejarah. Merasa besar untuk hal yang tidak mereka benah. Hingga akhirnya kehilangan arah.

Organisasi itu sangat rapuh. Bagaimana cara mahasiswa mengemban tugas untuk memperbaiki sistem keorganisasian masyarakat yang katanya sangat rapuh sedangkan sistem organisasinya sendiri jauh lebih rapuh?

Namun semua tetap aku jalani bahkan ikut latah dan menjadi bagian. Makin lama semuanya makin memuakkan. Ada yang mengetuk-ngetuk hati nurani. Bergejolak. Bergolak.

***

Ini adalah gerakan moral yang murni atas dasar keinginan nurani yang terpanggil. Setiap mahasiswa berhak mengenyam dan merasakannya. Termasuk mereka yang berstatus mahasiswa baru.

Setidaknya ada yang terjun atau sengaja di hanyutkan dalam laju gerakan mahasiswa. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka menyesal ketika menyadari kerapuhan organisasi ini. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka kecewa ketika mendapati keadaan yang tak seideal dalam bayangan. Tak peduli, apakah mereka merasa terlambat untuk mundur dan mengambil jalur yang lain.

Harusnya ada yang memulainya. Harusnya ada yang membuka pintunya. Harusnya ada yang memudahkan jalannya agar mereka, bibit-bibit baru, tumbuh dan akan mengubah segalanya menjadi lebih baik.
Tetapi ketika prosesi penyambutan mahasiswa baru dicekal, akankah hadir wajah baru? Akankah ada yang akan memahami arti kebersamaan? Akankah ada regenerasi? Akankah ada yang memaknai arti perubahan?

Masih adakah yang akan bertanggung jawab?
Pengkaderan adalah harga mati!

Meskipun dosen pernah mengenyam masa menjadi mahasiswa, tetapi mereka tetap tidak berhak untuk membimbing mahasiswa baru dalam memasuki dunia kemahasiswaan sesungguhnya. Kita beda masa wahai para birokrasi. Kita berbeda masalah dan kita pun berbeda cara untuk menyelesaikan semuanya. Sudah seharusnya suatu proses dan metode penerimaan mahasiswa baru dilakukan oleh mahasiswa, untuk mahasiswa dan kepada mahasiswa. Eksistensi prosesi penerimaan mahasiswa baru oleh mahasiswa harus tetap dipertahankan. Aku sadar, bukan hanya sekedar ajang balas dendam apalagi ajang untuk pamer retorika. Ini adalah sebuah panggilan moral. Prosesi penerimaan mahasiswa baru harus tetap dilaksanakan.
Situasi makin hangat. Aku yakin aku sadar. Aku pun ikut-ikutan aktif pada sebuah demo besar-besaran untuk mengadakan kegiatan tersebut. Sekali lagi aku sadar. Aku berteriak lantang. Berorasi. Terlihat begitu kritis. Dan….

***

Aku kembali ke ruang waktuku dan menyimpan semua nostalgia itu, di sebuah kotak di sel otakku. Kupicingkan mata melihat sebuah pemandangan dari kejauhan. Beberapa aktivis mahasiswa itu berorasi dengan argumentasi yang sangat meyakinkan di depan mahasiswa-mahasiswa baru. Memperlihatkan kharisma yang memesona dan berucap dengan retorika yang begitu indah. Mahasiswa-mahasiswa yang dulu entah kemana.

“Satu kata untuk penindasan, LAWAN!” teriak salah satu di antaranya sambil mengepalkan tangan dan menaikkannya ke udara, lalu di lanjutkan orasi lainnya.

Tutup telinga kalian, wahai adik-adik mahasiswa baru. Tak semua yang kalian dengar itu benar. Aku membatin.

Aktivis-aktivis itu memang banci tampil. Mereka selalu ingin terlihat cerdas. Intelek. Berani. Hebat. Di ruang diskusi mereka selalu tampak meraung-raung padahal obrolan mereka tak lebih dari sekedar debat kusir. Dengan penuh kenikmatan mereka menyeruput kopi lalu menghisap rokok dalam-dalam kemudian menyebarkan polusinya ke udara sembari menyampaikan idealisme-idealisme yang hanya sampai di bibir saja, minus implementasi. Lidahnya menari-nari mengkritisi kaum hedon, menghujat para sapi kapitalis padahal mungkin mereka bagian dari itu. Dan mungkin termasuk aku.

Tak beberapa hari setelah peristiwa demonstrasi di halaman rektorat hari itu, surat keputusan bahwa aku dan beberapa teman lain diskorsing. Kemana mereka saat keputusan itu dikeluarkan? Dimana lidah-lidah tajam itu? Mengapa mereka tidak mengiris para birokrat yang mengeluarkan surat itu? Mengapa mereka tiba-tiba menjadi ompong? Tak ada lagi gemeretak gigi, kehilangan taring kah? Semangat yang membara saat ini, di depan mahasiswa baru yang belum tahu apa-apa, raib kemana saat kami meminta uluran tangan? Ciutkah? Musnahkah? Apakah mereka tak lagi melihat? Butakah? Atau telinganya sudah tak berfungsi lagi? Tulikah?

Mereka tampak begitu takut mengalami hal yang sama seperti yang kami alami. Tapi mereka juga tak punya nyali untuk menolong kami.

Kalian pikir, aku terkesan sinis dan mungkin sangat sarkastis? Aku rasa tidak.
Kami siap jadi korban, kami tak mempermasalahkan itu. Bukankah sebuah perubahan memang memerlukan pengorbanan? Tetapi jatuhnya korban ini, mengapa tak membuat para kaum yang katanya intelektual itu jadi melek? Mengapa mereka tak juga membenahi semuanya?

Angan yang kemarin membesarkan jiwa
Angan yang hadir dalam dialetika keremajaan
Angan yang membuatku terus berkarya
Angan yang tercipta dari keluguan dan kepolosan
Hanya tinggal idealisme-idealisme apologi

Mungkin ini hanya sebuah angan utopis
Yang menciptakan kebahagian semu yang meringis
Yang dipenuhi kata-kata retorika opurtunis
Dengan janji futuristik yang optimis
Yang mengotori telinga dan merusak sel otak dengan sadis

***

Sebenarnya aku sudah muak memasuki kampus ini. Tetapi percakapanku dengan Andre, seorang mahasiswa yang terkena sanksi DO, seolah mendorongku untuk kembali, bukan malah berlari. Menjauh. Menghindar. Terlepas. Tetapi berbalik dan menghadapi.

“Van, kamu lihat ilalang-ilalang itu?”

“Ya!” jawabku singkat dan memandang ilalang-ilalang yang tumbuh liar di tepi danau.

“Mereka memang tampak kompak. Satu ke kanan lainnya ke kanan, satu ke kiri lainnya pun ikut ke kiri. Tetapi bukan ke kompakan seperti itu yang kita cari untuk memperbaiki penyimpangan di sekitar kita. Ilalang-ilalang itu baru bergerak ketika sang bayu berhembus. Bukan karena keinginan sendiri. Tidak punya inisiatif. Hanya mengikuti. Kalau begitu, bagaimana perubahan itu akan menjadi nyata?”

Aku terdiam melumat tiap baris kata-kata Andre.

“Kamu mungkin masih lebih beruntung, masih bisa melanjutkan kuliah. Hanya di skorsing. Sedangkan aku?”

“Aku mengerti apa yang kamu rasakan!”

“Kalau kau mau, kau bisa tetap menjadi ilalang, latah dan larut dalam peradaban, punya banyak teman dan membiarkan sang bayu meniupkan jiwamu sesuka hati. Atau kau terlepas dari mereka tetapi mungkin menghadapi kenyataan bahwa kau akan sendiri. “

Ada gejolak yang menggelora, menyesakkan kediamanku. Apakah aku mampu berdiri tegak sendiri? Aku menutup mata, menunduk.

“Pilihan penting dalam hidup ini hanya dua Van, menerima hidup apa adanya atau menerima tanggung jawab untuk merubahnya. Aku yakin kamu tahu persis pilihan mana yang harus kamu pilih dan aku percaya kamu bisa menghadapi resiko pilihanmu itu!”

Ia seakan menjawab kediamanku.

“Ah… Sudahlah, aku harus pergi, tempatku tak di sini lagi. Paling tidak aku bersyukur pernah mengenyam warna-warni kehidupan mahasiswa.”

“Lalu, kau mau kemana?”

“Terjun dalam denyut kehidupan nyata di luar sana!”

“Bukankah rimba di luar sana jauh lebih ganas?”

“Yah… aku tahu. Dan aku tidak takut itu! Kaum muda seperti kita seharusnya tidak takut, maju dan hadapilah sekeras apapun itu. Ingat, perubahan tidak mungkin ditunggu, ia harus dijemput. ”

Andre pun meninggalkanku sendiri di tepi kampus. Meninggalkan kata-kata yang masih membekas di palung jiwaku. Dari air danau, aku melihat pantulan bayangan punggungnya mengecil dan akhirnya menghilang. Aku lalu berdiri tegak dan dengan keyakinan melangkahkan kaki kembali memasuki kampus.

Dan kini, pada ilalang-ilalang biru
Aku mencoba membuka sisi kelam
Membuka manipulasi atas nama pergerakan
Kembali membakar semangat tanpa takut kesendirian
Bukan hanya menunggu sang bayu menghampiri sang ilalang…

Si Ayam dan Si Sapi

Alkisah, ada dua binatang yang berteman akrab sejak kecil, yaitu si ayam dan si sapi. Mereka selalu berjalan berdua kemanapun mereka pergi.

Pada suatu hari, ketika mereka berjalan melewati sawah kosong yang jauh dari keramaian kota , mereka menemukan seorang laki-laki yang hampir mati.

si ayam berkata: “eh, pi! liat tuh! kayaknya ada orang sedang berbaring didepan!”

si sapi : “iya, yam! gue juga liat. kayaknya dia sedang sekarat. yuk kita deketin.”

Mereka melihat dari dekat, dan laki-laki itu dengan lemah berkata : “Tolong aku, aku lapar dan tidak punya makanan”

Lalu si ayam berkata kepada sapi : “Eh, kasihan deh. pi, yuk kita tolong dia.”

Sahut si sapi : “tapi gimana yam ? kita kan nggak bawa bekal apa-apa ?”

Si ayam berkata : “ya sudah, apa yang ada pada diri kita saja kita olah menjadi makanan, setuju?”

Sapi mengangguk : “baiklah, kalau itu bisa menyelamatkan nyawa orang itu, saya bersedia.”

Singkat cerita, mereka masing-masing memberikan bagian diri mereka, mengolahnya menjadi makanan dan memberikan kepada laki-laki tersebut. Ia sangat berterimakasih, kesehatannya telah pulih dan ia melanjutkan perjalanannya. Si ayam dan si sapi pun melanjutkan perjalanannya berdua.

Si ayam berkata : “Senang yach, rasanya, kita bisa menjadi berguna untuk orang lain….”

Si sapi membalas : “iya sih, aku juga senang. tapi kamu jalannya jangan cepat-cepat yam, aku tadi memberikan hatiku untuk menjadi makanannya, kamu sih enak, bisa bertelur….”

Cerita diatas menggambarkan 2 tipe dalam memberi, yaitu memberi dalam kelimpahan dan memberi dalam kekurangan. Sifat ini dapat kita refleksikan dalam diri kita, yaitu ketika kita memberikan pertolongan dalam lingkungan sekitar, boleh ditanyakan dalam diri kita sendiri: “apakah saya merasa sudah memberikan yang terbaik untuk mereka?” biarlah hati nurani masing-masing yang menjawabnya.

Saya jadi ingat, ketika seorang kaya memperhatikan orang-orang yang kekurangan. Orang-orang kaya memberi pertolongan dari kelimpahannya, tetapi seorang janda miskin memberi dari kekurangannya, bahkan seluruh nafkahnya. Orang yang memberikan dari kelimpahannya memberi sedikit bagian untuk orang miskin dan sisa bagian yang jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri, sedangkan si janda miskin memberikan seluruh bagiannya untuk sesamanya dan tidak ada bagian untuk dirinya sendiri. Itulah sebuah kenyataan, bahwa setiap orang memiliki kasih yang berbeda untuk sesama kita.

Kehendak Tuhan adalah supaya kita saling mengasihi dan saling tolong-menolong antara sesama manusia.


Tuhan memang tidak butuh harta kita. Ia adalah pemilik surga dan bumi. Jika Ia mau, Ia bisa mengambil semua harta kita. Tuhan menginginkan hati kita, supaya kita saling tolong - menolong terhadap orang yang membutuhkan bantuan. Namun hal ini tidak akan terjadi sepenuhnya sebelum hati kita masih menyayangi harta duniawi dan diri sendiri.


Kebencian Seperti Kentang Busuk

Seorang Ibu Guru Sekolah Dasar (SD) tersebut mengadakan ” permainan “.

Ibu Guru menyuruh anak tiap-tiap muridnya membawa kantong plastik transparan 1 buah dan kentang. Masing-masing kentang tersebut di beri nama berdasarkan nama orang yang dibenci, sehingga jumlah kentangnya tidak ditentukan berapa … tergantung
jumlah orang-orang yang dibenci.

Pada hari yang disepakati masing-masing murid membawa kentang dalam kantong plastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan ada yang 5. Seperti perintah guru mereka tiap-tiap kentang di beri nama sesuai nama orang yang dibenci.

Murid-murid harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut kemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun, selama 1 minggu. Hari berganti hari, kentang-kentang pun mulai membusuk, murid-murid mulai mengeluh, apalagi yang membawa 5 buah kentang, selain berat baunya juga tidak sedap.

Setelah 1 minggu murid-murid SD tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir.

Ibu Guru : ” Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1 minggu ?”

Keluarlah keluhan dari murid-murid SD tersebut, pada umumnya mereka tidak merasa nyaman harus membawa kentang-kentang busuk tersebut ke mana pun mereka pergi.

Guru pun menjelaskan apa arti dari ” permainan ” yang mereka lakukan.

Ibu Guru : ” Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain. Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemana pun kita pergi. Itu hanya 1 minggu bagaimana jika kita membawa kebencian itu seumur hidup ? Alangkah tidak nyamannya …

Pengkhianatan Janji

Dalam hidup
Ada yang datang
Ada yang pergi
Silih berganti mencipta makna
Bahkan terkadang mengugah
Mutiara putih berjalan
Meninggalkan singgasananya

Bukankah dulu engkau berjanji
Akan merangkai kisah cinta
Menghiasi setiap hariku
Dan akan menyemangatiku sepanjang hari
Pada gemerlapnya hari

Tetapi semuanya tersapu senja
Ketika pangerani malam
Mengembangkan senyum
Engkau terlupa
Dan lelap dibawah keteduhan sinarnya
Janji hanyalah tinggal
Sepenggal asa
Yang akan membusuk
Oleh bakteri pengurai kata

Cintaku Ini Adalah Luka

HARI ini hitam, seperti malam. Pekat tak mau beranjak cahaya. Tubuh siapa bulan itu, yang wajahnya selalu kuingin: segalanya cukup, tak terang seperti terik matahari. Suara siapa sepi itu, yang damainya selalu kuharap: tak ada resah. Cinta siapa yang tak membuat luka? Aku tak tahu sebab semua cinta adalah luka.

Di ujung malam aku diam sebab hening itu yang kuingin. Segalanya lebih baik bisu. Biarlah kata disimpan bibir rapat. Aku tak butuh huruf-huruf yang kupahami sebagai perih. “Hei, kenapa kau lanjutkan kisah asmaramu jika pengkhianatan cinta dan sakit hati yang kau dapatkan? Bukankah perjalanan cintamu yang dulu-dulu adalah sapaan Tuhan agar engkau berkaca? Kenapa tak kau pakai cermin itu? Atau engkau telah buta oleh cinta pada perempuan yang kini akhirnya menyakiti perasaanmu dan mengkhianati janjimu?” Tidak ada jawaban sebab aku tak menginginkannya.

Bayangan dia kembali muncul di antara gelap. Ia tersenyum kepadaku. Wajahnya yang indah dan manis. “Oh, Vy! Tak kuasa aku menahan sakit yang begitu perih dan bahkan mencabik-cabik hati ini hingga lebur. Tutup, senyumanmu palsumu itu! Tutuplah mulutmu itu. Jangan pergunakan serpihan kata-kata bahkan kalimat untuk sekadar bercakap-cakap denganku. Biarlah, biarlah kucoba pahami engkau melalui kisah cinta kita yang ternyata engkau khianati. Aku sanggup. Aku mampu mengerti segalanya hanya dengan diam. Simpan saja sisa katamu dan kalimatmu itu untuk berdoa agar janji palsumu itu dibersihkan. Selebihnya, doakan aku agar tidak menjalani hidup seperti yang dulu kita jalani dan alami. Itu pun jika sempat. Tidak juga tak apa, sebab aku punya cukup bukti dari jejak cintamu yang penuh luka bahwa hidupmu tak bahagia denganku.”

Aku menangis. Air mata ini seperti gerimis yang tak serius. Jatuhnya tak kunjung sering, tak kunjung deras. Kupahami itu sebagai kelelahan. Dan mungkin hanya sebanyak itulah air mata yang tersisa sebab hidupku selalu menuntut tangis, terkuras yang disebabkan akan cinta dan janji yang palsu dari setiap wanita.

“Maafkan aku, Van! Bahkan hingga kini, hidupku yang beranjak menuju ujung pun tak pernah berhasil kuhapus air matamu. Aku belum mampu, bukan tak mau melakukannya. Hentikan tangismu itu, Van! Cukup! Aku tak mau melihatmu terluka untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah mengerti, sudah paham. Tumpahkan saja segala lukamu itu padaku. Aku terima dan aku rela!”

Aku ingat. Hubunganku dengannya, air mata itu sempat jatuh di kuburan Ibuku. Di sana dia berucap,” Van, kakak dan adikmu adalah masa depan yang Ibumu inginkan. Tak bijak rasanya jika kamu harus menyimpan harapan pada masa lalu. Engkaulah masa saat ini yang bisa Ibumu titipkan harapan itu untuk masa yang akan datang. Belajarlah dari masa lalu, niscaya akan kau dapati gambar ibumu, kakakmu, dan adikmu. Tataplah semua gambar itu meski semuanya sedang menangis sebab kesedihan adalah pelajaran, bukan nista atau cela. Engkau laki-laki, arungi semua laut dengan bidukmu. Jangan katakan itu tak mungkin sebab keberhasilan masa depanmu adalah apa yang kau yakini hari ini. Semakin engkau yakin, semakin engkau mempunyai kekuatan untuk meraihnya. Dan hentikan segalanya jika engkau merasa ragu. Jangan memaksakan diri. Jangan takut dikatakan kalah sebelum berperang sebab bertempur tanpa strategi adalah kekonyolan. Hidupmu adalah hidupmu. Itulah prinsip. Jangan terburu-buru, mulailah dari yang teramat kecil dan dekat sebab hidup adalah proses.” Sampai di sini kata-katanya digulung air mata, dan tak berhenti hingga untaian doa-doa selesai digumamkan.

***

AKU menangkap isyarat pertalian dari dua peristiwa: masa lalu dan masa yang tengah kuhadapi saat ini, ketika wajah dia dan Ibuku hadir di ujung malam. Tangisku, Ibuku, dan dia malam ini adalah luka jika harapan-harapan yang pernah dititipkannya di sebuah kubur tahun lalu, diartikan sebagai beban.

Dari kedip mata Ibuku, aku ingin mengatakan bahwa harapan-harapan orang tua atas anaknya di kemudian hari adalah beban yang dititipkan untuk dipikul sang anak. Si anak kehilangan kebebasan gerak sebagaimana hidup layak. Sedikit-sedikit kaki si anak bergetar menahan beban. Atau langkahnya terhenti untuk menyeimbangkan beban dengan kekuatan tubuhnya. Jika suatu saat si anak tak kuat menahan beban itu, hanya ada dua kemungkinan yang akan dilakukannya. Pertama, ia akan mempercepat langkah supaya lekas sampai ke tempat yang dituju agar beban bisa ditanggalkan. Demi mencapai itu, si anak mengabaikan semua keinginan dan kepentingan dirinya demi bakti seorang anak pada orang tua. Kedua, ia akan menanggalkan semua bebannya tanpa memikirkan siapa yang membebaninya dengan harapan sebab baginya hanya ada satu masalah, yaitu tubuhnya sudah tak kuat menahan beban.

“Karena itu, saat ini aku menangis!” tiba-tiba hati ini berkata. Tak bisa lagi aku mencegahnya untuk berkata-kata, meskipun sebetulnya aku tetap ingin ia menggunakan sisa tenagaku untuk mengingat Tuhan. Sebab aku yakin, tak ada yang lebih penting bagi seseorang yang dikerubungi masalah selain Tuhan.

“Aku merasa itu semua adalah kesalahan. Aku yakin, sekecil apa pun harapan kamu adalah beban bagi dirmu. Untuk itu aku datang malam ini. Untuk meminta maaf kepadamu karena dulu telah banyak menyimpan harapan…” suara dia berhenti. Hanya bibirnya yang terlihat bergerak seolah mengucapkan sesuatu, tetapi tak sedikitpun suara kudengar.

“Waktumu telah habis, Vy!” pikirku. Kembali aku harus memahaminya lewat isyarat. Itu lebih baik dari sekadar kata-kata. Apalagi jika kata-kata itu membuat luka.

Aku memahami segala tentang dia. Juga tentang cintanya yang membuatku terluka. Tak hanya riwayat tentang penolakan cintaku untuknya, yang saat itu aku dan dia sebagai kekasih, tetapi juga tentang pengkhianatan cinta seorang kekasih. Namun demikian, hidupku dan hidupnya tetap berjalan. Seperti hari yang hingga saat ini tak pernah berhenti, berkurang, atau melebih. Hanya jejaknya masih dapat jelas tergambar, paling tidak dalam ingatanku.

Tak mungkin aku melupakannya. Pertengkaran demi pertengkaran yang kerap terjadi, masih mampu kuingat dengan jelas. Bahkan terasa baru kemarin itu semua terjadi. Semua adegan yang terjadi dan kata-kata yang diucapkan, tak pernah bisa kuhapus, meski luka baru bermunculan. Hingga hari ini aku berkesimpulan bahwa semua masa laluku adalah luka.

Aku harus mengatakan bangga memiliki seorang kekasih sepertinya. Meski cintaku terluka, demi masa depannya, aku mampu bertahan. Ia mampu menafikan segala luka cintaku, meski pada akhirnya akan membuat luka baru untukku dan hatiku serta perasaanku ini.

Bagaimana aku tidak luka jika waktu itu aku mengetahui dia menjalin hubungan lain dengan pria lain ? Bagaimana aku tidak luka jika jalinan cintanya telah menjadi luka bagiku ? Benarkah demi cinta dia kepadaku membuat dia menafikan luka yang diakibatkan cintaku dan dia? Cinta apa yang diberikan kepadaku jika perpisahan yang menjadi kenyataan? Benarkah itu semua dinamakan cinta? Cinta yang luka.

Ada garis-garis putih samapta langit, seperti kilatan siang yang sengaja diciptakan Dayang Sumbi untuk mengelabui ayam supaya berkokok tanda pagi segeri tiba. Wajah dia semakin jelas dan nyata. Tak ada tanda-tanda keberadaan darah di sekitarku. Ini ujung dari segala penghabisan waktu, dan aku harus memanfaatkannya untuk mengingat kembali silsilah luka cinta seorang wanita seperti dia.

“Wahai engkau wanita, cinta yang luka yang kau berikan padaku, menoreh luka abadi di ingatanku. Aku melihat sendiri dirimu menjalin hubungan dengan pria lain. Mungkin luka ini tidak akan seberapa hebat merasuk, jika kamu belum merasakannya. Tapi ini kenyataan, kau yang telah menyakitiku dan mengkhianatiku. Vy, aku sangat merasakan luka cintamu itu karena aku juga laki-laki yang terkhianati akan janji. Aku juga jadi ragu, cinta apa yang diberikanmu untukku jika cinta dengan akhirnya menjadi sebuah luka. Haruskah kukatakan bahwa cinta yang diberikan padamu untukku adalah cinta yang luka?”

Tak ada suara, juga air mata. Aku seolah telah menjadi padang tandus tak berpenghuni, kerontang dan sunyi. Hanya kepasrahan yang kerap diamini gelisah karena tak kuasa memastikan waktu akan cinta sejati tiba. Segalanya condong ke masa lalu sebab ingatan tentang catatan cinta berderet lebih panjang daripada prestasi belajar.

Angin laut sudah kembali menghempas daratan, mengantarkan sampan nelayan untuk pulang. Alam sudah menciptakan tanda-tanda dan isyarat bahwa hari sudah beranjak siang. Aku tak berniat membayangkan wajah nelayan yang masih berada jauh di tengah laut sebab diri yang dekat saja masih dalam ancaman yang tak mampu diduga. Banyak atau sedikit ikan yang didapat oleh mereka, itulah nasib. Hidup hanya mencipta dua pilihan, tersakiti atau menyakiti. Tak ada pilihan ketiga. Tapi masa depan diri di hadapan Tuhan, tak bisa dilimpahkan begitu saja pada nasib dan takdir sebab hidup menuntut pertanggungjawaban. Hanya ada diri sendiri yang melakukan di hadapan Tuhan menitipkan segalanya.

“Wahai engkau wanita palsuku, izinkan aku mengatakan bahwa cinta itu hanya luka. Cinta yang kamu berikan untukku juga luka, terlebih setelah hidup jiwaku berkiblat kepadamu. Aku semakin merasakan luka cintamu, bukan karena aku laki-laki setia, tapi aku mengalami semua apa yang telah kau berikan padaku, sakit dan pengkhianatan,” aku berhenti sejenak. Nafas terasa sesak. Itulah kejamnya luka. Jangankan mengalami kembali, mengingatnya pun sungguh menyakitkan.

“Cintaku tak diizinkan oleh orang tua perempuan yang akan kujadikan pasanganku. Tapi aku tetap bertahan sebab saat itu masih percaya, cinta adalah pohon yang kelak akan berbuah kebahagiaan, manis dan lezat. Kenyataannya, dia sama-sama pengkhianat! Cintanya tidak berbuah bahagia bagiku, tapi membelah diri menjadi cinta-cinta berikutnya yang diperuntukkan pada laki-laki lain. Pasanganku adalah wanita yang sama-sama mengubah cinta menjadi luka abadi.

Aku sendiri tak percaya karma. Karenanya, tidak mengartikan kesamaan nasib cinta kita sebagai sebuah karma. Namun yang menjadi permasalahan adalah apa yang harus kulakukan sebagai seorang pria, jika kelak mempunyai anak. Aku tidak ingin mewariskan cinta yang demikian pada anak-anakku. Cukup, akulah yang terakhir merasakannya. Aku tidak ingin melakukan pertengkaran di depan mata anak-anak seperti yang kau lakukan dulu terhadapnya. Aku tidak ingin menjadi pelari yang mengestafetkan luka.”

Bayangan wajah dia tampak pudar oleh cahaya. “Wahai engkau pencari cinta sejati, mari kita sama-sama mengatakan bahwa cinta itu luka, tapi jangan sampai terdengar orang lain sebab aku tak ingin mereka percaya pada apa yang kita ucapkan itu. Kisah cinta kita, kitalah yang merasakannya. Dan masing-masing dari mereka punya hak untuk menyimpulkan arti cinta dari apa yang dialami dan dirasakannya sendiri.”

Cinta itu luka. Kalimat itu kuucapkan dengan khidmat dalam hati. Aku percaya, dia pun melakukan hal yang sama, meski aku tak mendengarnya. Bayangan wajahnya menghilang seiring perjalanan terang. Aku tetap tak beranjak. Memang, sejak hari itu, hari perpisahanku dengan dirinya, di sanalah tempat dudukku menunggu kedatangannya. Di sanalah kukubur cintaku, di bawah pohon di tepi laut. Ya, itu bukan tempat pemakaman umum sebab hanya akulah yang dikubur di sana. Sendiri.”

***

BEBERAPA hari yang lalu, orang-orang pinggir laut menemukan hatiku telah menjadi mayat. Tergeletak di atas pasir dengan kondisi telah membusuk. Aku memang bukan orang kampung itu. Sangat wajar jika merka tak mengenaliku. Apalagi dengan kondisi hati yang sudah tak berbentuk. Ditanamlah hatiku di sana, di bawah pohon di tepi laut.

Aku memang membunuh hati dan cinta ini dengan cara menceburkan diri ke laut. Aku bunuh hati dan cinta setelah tak percaya lagi cinta. Setelah cinta kudefinisikan sebagai luka. Cinta itu luka.***

Presiden Padang Ilalang

“… Tidak seorang pun aku ijinkan menggoyang Indonesiaku ini, akan aku pastikan garudanya tetap mengangkasa di langit Indonesia, akan aku pastikan benderanya terus berkibar meski aku sendiri yang harus mengereknya di puncak tertinggi Indonesia, dan akan aku pastikan setiap silanya mengakar mendarah daging dalam setiap laku dan gerak bangsa ini. Itu adalah janjiku, dan aku tidak akan pernah memaafkan manusia yang mencoba-coba mengancam kestabilan keamanan NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.” Salah seorang pejabat teras pemerintahan berbadan tegap menghentak-hentak hati seluruh anggota rapat dengan pidato singkatnya yang terucap lantang dan penuh kecintaan yang teramat dalam terhadap Bumi Pertiwi.

Ruangan sidang tidak lagi tenang seperti biasanya. Tidak ada satu pun yang tertidur atau bermain laptop dalam rapat ini. Air conditioner yang terpasang di dinding-dinding ruangan itu tidak dapat mendinginkan suasana yang sudah terlanjur memanas meskipun sudah disetel pada suhu yang paling minimum. Di ruangan itu hadir juga beberapa pejabat tinggi non legislatif yang diundang untuk ikut merumuskan keputusan penting itu. Ruangan juga penuh sesak oleh beberapa pejabat lainnya yang sebenarnya tidak diundang tetapi memaksa untuk ikut dalam sidang tersebut. Di depan ruang sidang tersebut duduk Ketua MPR, Prof. Dr. A.S.M yang terlihat kebingungan menghadapi begitu banyak emosi yang tercampur dalam ruang sidang. Begitu banyak orang yang saling berebut menyampaikan pendapat hingga aksi saling rebut mikrofon pun beberapa kali terjadi. Berkali-kali A.S menenangkan para peserta sidang namun sia-sia saja, suaranya tertelan oleh riuh suara ribuan orang yang berkumpul disana.

“Interupsi Bapak Ketua!! Saya sangat tidak setuju dengan keputusan pertama tadi, tidak bisakah hal itu dipertimbangkan sekali lagi? Bukankah Indonesia bisa mengangkat harga dirinya di mata dunia berkat seluruh usaha dan kerja kerasnya juga?” Ketua Fraksi Utusan Daerah, Dr. M.K asal papua angkat suara.

“Maaf Saudara M.K, harusnya anda tahu, bahwa yang dilakukannya itu adalah kejahatan sekaligus penghinaan tertinggi bagi Indonesia, tidak ada kompromi lagi bagi kejahatan semacam itu. Apa anda mentolerir tindakan semacam itu? Atau anda jangan-jangan memang berkomplot dengannya, hah?” Salah seorang anggota DPR tiba-tiba langsung menimpali tanpa ijin. Nampak jelas dari intonasinya yang tinggi, bahwa dia sangat marah dan kecewa dengan pernyataan Dr. M.K.

“Tenang, tenang semuanya!! Saya tahu kalau kita semua capek, sudah dua puluh jam hari ini kita di ruang sidang, tapi tolong logika tetap di atas emosi. Dan untuk Pak M.K, sepertinya anda masih belum menyadari bahwa yang dia lakukan itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan. Undang-undang manapun akan menindak tegas setiap perbuatan yang dapat mengancam keselamatan negaranya. Dan sekali lagi keputusan pertama sidang ini tidak bisa diganggu gugat. Sekarang ini kita sedang mencari hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya agar tidak ada lagi orang yang berani meniru apa yang sudah dilakukannya saat ini.”

Ruangan sidang hening sesaat, Dr. M.K pun diam seribu bahasa. Bukannya dia tidak tahu harus berbicara apa, namun dia takut dianggap antek atau berkomplot dan menerima perlakuan yang sama dengan orang itu. Beberapa anggota rapat nampak berbisik-bisik satu sama lain sambil sesekali saling mengedarkan pandangannya dengan penuh rasa curiga. Suasana yang terbangun saat itu di ruang sidang benar-benar tidak nyaman, hingga tidak ada seorang pun yang mau bersuara.

“Interupsi Pak Ketua, saya rasa saya tahu hukuman apa yang pantas…” tiba-tiba pejabat berbadan tegap itu sekali lagi angkat bicara.

***

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh belas lewat empat puluh lima, masih lima belas menit dari waktu yang telah ditetapkan. Angin yang berhembus di Lapangan Monas terasa sangat lambat, seakan enggan meninggalkan tempat yang menjadi saksi sejarah rapat akbar rakyat Indonesia pertama kalinya pada masa awal kemerdekaan. Saat itu lapangan ini masih bernama Lapangan Ikada, dan Soekarno masih disanjung-sanjung. Kini sudah genap seratus tahun berlalu semenjak kemerdekaan Indonesia, dan Soekarno sudah tidak lagi disanjung-sanjung. Bukan lagi Soekarno yang menjadi pahlawan di hati rakyat Indonesia, karena kini jamannya telah berbeda. Setiap jaman memiliki pahlawannya masing-masing.

Berbeda dengan saat-saat awal kemerdekaan di lapangan Ikada, sore itu lapangan Monas terasa begitu dingin dan mencekam meskipun ratusan ribu rakyat Indonesia telah kembali berkumpul dalam satu barisan yang rapat. Riuh dan ramainya rakyat jelata yang memadati selasar Monas tidak dapat menghapuskan suasana duka serta luka yang menyayat hati simpatisan Sang Presiden, sementara sebagian besar lainnya memuntahkan sumpah serapah dan umpatan serta makian atas mantan orang nomor satu di Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut.

Sang Presiden berjalan memasuki selasar Monumen Nasional dengan mata yang sembab dan langkah yang tidak lagi tegap. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak teratur, kadang tiga jam, dua jam bahkan pernah tidak tidur seharian. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa masalah yang ditimbulkan akibat tindakannya itu bisa menjadi sedemikian berat. Kepalanya terasa pusing, dan matanya yang panas terus meminta didinginkan lewat buaian kasur. Tapi tidak mungkin baginya untuk beristirahat, Sang Presiden sudah tidak lagi memiliki kekuasaan, bahkan ia tidak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri.

Di sudut podium terlihat menteri pertahanan dan keamanan Marsekal An. Set. atau yang biasa ia panggil dengan nama kecil ‘Atmo’ berdiri memandangnya dengan mata yang nanar. Pandangan keduanya menyatu, dan kalau Sang Presiden tidak berada di depan umum seperti ini, tentu ia sudah berlari menghambur ke arahnya. Sang presiden bergetar hebat saat tahu Atmo ada di sana, ia menghampirinya dengan wajah setengah tersenyum. Guratan-guratan keriput di wajahnya nampak jelas di bawah terangnya matahari sore yang berwarna kemerahan. Matanya kembali berkilat-kilat, ia tahu bahwa Atmo adalah harapan terakhirnya. Ia tahu kalau Atmo tentu mengerti akan tindakannya. Ia kenal betul siapa sosok An. Set., ia adalah seorang marsekal muda yang terbuka dengan perubahan, berpandangan jauh ke depan, pemaaf dan penyabar, namun juga sekaligus determinatif. Atmo adalah satu dari sedikit orang yang mampu memahami jalan pemikirannya.

“Mo, kamu tahu aku yang benar !! Negeri ini butuh visi, kita harus dobrak semua belenggunya, kalau Pancasila hanya jadi belenggu maka kita dobrak juga sekalian. Aku tahu Mo, suatu saat negeri ini bisa menjadi negara adikuasa, aku tahu itu Mo…” Sang Presiden berharap bahwa Atmo masih mau mendukungnya. Walaupun itu sudah agak terlambat, namun Sang Presiden tidak putus asa.

“Tidak Bang, Abang salah! Indonesia adalah Pancasila. Tidak ada satupun yang boleh memisahkan keduanya. Indonesia tanpa pancasila hanyalah raga tak bernyawa. Dan aku tidak rela nusantaraku kehilangan nyawanya.” Atmo dapat melihat raut kecewa di wajah sahabatnya itu, namun ia yakin seratus persen dengan apa yang dikatakannya. Tidak ada yang boleh menurunkan Pancasila dari tahtanya, tidak juga Sang Presiden itu sendiri.

“Mo, bukan Pancasila yang kita butuhkan!! Pancasila itu ideologi banci. Indonesia negeri yang besar, negeri yang mumpuni. Tidakkah kamu lihat apa yang telah kita lakukan dalam delapan tahun terakhir? Kita bangun angkatan laut dan udara yang tanguh sehingga negeri ini berdaulat, kita tiru keberanian Venezuela menasionalisasi perusahaan kapitalis asing, kita gratiskan kesehatan dan pendidikan, Kita adopsi kebijakan Cina menggantung para koruptor, kita tantang Amerika seperti Kuba, kita tolak semua pinjaman luar negeri, kita juga deklarasikan pada dunia bahwa Indonesia tidak berhutang satu sen pun pada siapapun. Kita angkat harga diri Indonesia. Kita telah menang menantang kapitalisme. Dan kamu pikir sistem apa yang kita terapkan dalam delapan tahun ini?! Bukan Pancasila, itu sosialis Mo!! Dari sana kita dapat keberanian itu. Di kepalaku ini sudah ada cap Seorang-Sosialis-Visioner-yang-bertekad-memberi-kejayaan-bagi-Indonesia, bukan kapitalis atau pancasilais.” Sang Presiden setengah berbisik di telinga Atmo dengan penuh semangat yang berapi-api layaknya Indonesia baru merdeka.

“Ya, dan Abang lihat sendiri akibatnya bagi negeri kita saat ini: embargo militer, embargo ekonomi, dianggap teroris lah, anti-demokrasi lah, gak karu-karuan negeri kita sekarang! Apalagi Abang deklarasikan sosialis menggantikan pancasila. Tidak heran kini Abang dianggap sebagai pemberontak gila! Rakyat kita sudah cukup menderita…”

“DIAM MO, DIAM!! Itu memang harga yang harus dibayar untuk membeli kembali harga diri kita. Lagipula kamu tahu apa tentang penderitaan? Akulah anak yang dibesarkan dalam penderitaan, bukan kamu! Akulah anak yang kelaparan selama 16 tahun di desa terbelakang tanpa listrik, bukan kamu! Akulah anak yang telah dikecewakan oleh negeri ini, bukan kamu! Tapi aku masih cinta negeri ini. Aku memaafkan negeri ini… Hingga pada suatu senja di bukit depan gubuk reyot orang tuaku, di sebuah padang ilalang, aku berjanji bahwa aku akan membawa visi bagi negeri ini. Akan aku wujudkan NEGARA ADIDAYA INDONESIA RAYA!!” Kini suara Sang Presiden setengah bergema di seantero lapangan Monas yang sedang khidmat-khidmatnya menunggu matahari terbenam.

“Abang sudah kelewat gila, bukan cinta yang Abang bawa, tapi petaka. Biarlah negeri ini dalam ketentraman. Kita bangsa Indonesia tidak perlu kejayaan, cukup kesejahteraan dan kemakmuran.“ Atmo masih bisa mengendalikan dirinya, ia menyampaikan kata perkatanya dengan sangat tenang dan jelas.

“Lemah kamu! Sia-sia aku membagi mimpiku denganmu …”

“Aku kagum dengan mimpi-mimpimu Bang, tapi mengganti ideologi? Itu gila!! Sama saja Abang mencabut nyawa Indonesia.”

“Aku tahu yang terbaik bagi Indonesia Mo. Aku ini orang Indonesia, aku bangga menjadi orang Indonesia , aku CINTA Indonesia.”

“Sudah Bang, cukup! Biarlah rakyat yang menentukan. Aku sudah tidak mau tahu lagi tentang ide gila Abang itu.” Atmo tidak sanggup lagi berdebat dengan sahabatnya, air mata menetes perlahan dari sudut matanya seraya ia berbalik meninggalkan sahabatnya sendiri di tengah keramaian.

“ATMO!! Dasar pengkhianat!!! Ingat Mo, suatu saat kamu akan mengakui kalau aku yang benar… Ingat itu!“ Sang Presiden berteriak lantang setengah marah yang kemudian langsung disambut gemuruh cacian dan makian dari rakyat yang juga marah besar pada Sang Presiden.

Atmo terus berjalan menjauhi Sang Presiden dan keramaian yang ada di sekitarnya menuju masjid Istiqlal di seberang jalan. Jalanan begitu lenggang dan sepi, tidak nampak satu kendaraan pun yang berderu menembus jalanan di sore itu. Nampak semua orang telah meninggalkan aktivitasnya masing-masing untuk menyaksikan kejadian paling bersejarah di tahun 2045 ini. Rasanya belum lama Atmo tertawa bersama sahabatnya di teras rumah sambil membicarakan masa depan negeri ini.

Delapan tahun yang lalu pada suatu senja di waktu yang sama dengan saat ini, pernah Sang Presiden berkunjung ke rumahnya di Bandung. Teras mungil berukuran 3m x 2.5m dengan dua kursi rotan mungil, sebuah meja duduk dan dua buah cangkir kopi menjadi saksi awal pembentukan Indonesia baru yang direncanakan kedua calon pahlawan yang berjiwa muda itu. Sinar merah matahari sore masuk diam-diam lewat celah pohon cemara di trotoar pekarangan depan rumah. Pohon-pohon cemara itu berbaris rapi dengan tinggi yang hampir sama dan masing-masing berjarak satu atau dua hasta satu sama lain. Tidak ada pagar besi di pekarangan rumah Atmo, hanya tanaman perdu setinggi pinggang orang dewasa yang membatasi wilayah rumahnya dengan bahu jalan. Maklum, tidak ada yang berani berbuat macam-macam apalagi mencuri di komplek dinas hunian para perwira senior TNI AU itu. Di sisi selatan tembok rumah Atmo, terlihat beberapa tanaman bonsai tua yang sudah tidak lagi nge-trend masih meliuk-liukan batangnya di dalam pot-pot keramik cina dengan motif naga dan barong. Sembilan buah bonsai itu dipamerkan di susunan batu alam berundak yang dialiri air sehingga tampak warna kemerahan lembayung senja memantul dari bebatuan pipih itu. Bonsai-bonsai kecil dengan angkuhnya memancarkan keindahan yang luar biasa lewat strukturnya yang unik, seakan memanggil setiap manusia yang melihatnya untuk memiliki setiap lekuk indah batangnya. Tidak ada satu pun bunga warna-warni yang tampak menghiasi hamparan rumput jepang di halaman rumahnya. Namun hal tersebut tidak mengurangi satu pun keindahan dari pekarangan rumah marsekal muda itu.

Di sana Sang Presiden mengungkapkan rencana-rencana kebijakan yang akan diambilnya dalam lima tahun ke depan. Segera setelah ia dilantik menjadi presiden. Saat itu dia hanyalah seorang kandidat calon presiden yang tidak terlalu diunggulkan dan Atmo pun belum menjadi seorang menteri, hanya seorang marsekal muda yang memiliki semangat perubahan. Darinyalah Atmo belajar banyak tentang hakikat kepemimpinan, dan darinya juga ia mendapatkan keberanian untuk merealisasikan idealismenya. Maka ketika Sang Presiden menceritakan impiannya atas Indonesia dan apa yang akan dilakukannya ketika menjadi presiden nanti, Atmo langsung mendukungnya.

“Benar Mo, kamu siap dukung aku?“

“Dengan segenap jiwa raga Bang” Atmo memang menghormati Sang Presiden dengan memanggilnya ‘Abang’ walaupun umur mereka hanya terpaut satu bulan kurang lima hari. Bahkan zodiak mereka pun sama, meskipun keduanya percaya bahwa masalah tidak akan selesai dengan membaca ramalan asmara di majalah anak umur belasan. Bagi mereka, zodiak hanyalah suatu pembenaran bagi para kaum fatalis yang malas berusaha.

“Kalau aku jadi presiden Mo, aku mau kamu yang menjadi menteri pertahananku, aku butuh nasehat-nasehat bijakmu Mo.”

“Alah, aku tidak sebijak itu kok Bang, lagian kalo cuma butuh nasehat kenapa tidak minta paranormal saja jadi menteri Abang? Hehe..” Atmo tertawa renyah sambil menyeruput kopi manisnya.

“Yah, tidak cuma itu toh Mo, aku juga butuh perlindungan darimu, kamu kan marsekal, pasti punya banyak anak buah. Anak buahmu kan badannya gede-gede kayak bodyguard, yakin deh tidak bakalan ada yang berani ganggu aku. Hahaha..”

“Ah, ngawur!!” Keduanya kemudian terkekeh-kekeh dan terus mengobrol hingga matahari terbenam di sebuah atap rumah tingkat dua bergaya minimalis, atau paling tidak yang terlihat demikian. Karena setelah melewati atap rumah itu, matahari tidak lagi tampak di mata kedua lelaki empat puluhan itu, yang tersisa hanya lembayung kemerahan yang perlahan-lahan tertutupi oleh gelapnya malam.

Setelah adzan magrib berkumandang keduanya menuju masjid terdekat. Mereka sholat berjamaah disana, dan dilanjutkan hingga sholat isya selesai. Selama menunggu isya di masjid, keduanya melakukan pembinaan kecil-kecilan kepada tujuh remaja masjid yang berumur dua puluhan dengan menceritakan kisah kaderisasi ideal yang dilakukan oleh sosok H. Al. B, tokoh pergerakan yang dikagumi oleh kedua lelaki paruh baya itu.

***

Waktu kini sudah menunjukkan pukul delapan belas tepat, ini adalah waktunya. Di sudut teras masjid Istiqlal Atmo tersungkur dalam sujud memohon pengampunan sekaligus mengucap rasa syukur. Air matanya mengalir tanpa henti dari matanya yang sudah sembab. Ia menangis sesenggukan. Sulit baginya mengendalikan nafasnya saat mengingat kembali wajah sahabatnya itu. Bagaimana dia begitu mencintai negeri ini, bagaimana dia bercerita tentang mimpi-mimpinya, dan juga setiap kelakar serta canda yang sering dilakukannya saat menyeruput kopi manis sambil berdiskusi berdua. Dalam lima tahun pertama dia mendukung sepenuh hati keputusan-keputusan radikal sahabatnya dengan menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menjaga kedaulatan Negara Indonesia dengan sepenuh hati. Dan pada saat Sang Presiden terpilih lagi di lima tahun kedua ia masih setia menjadi menteri di kabinet Sang Presiden. Atmo berjuang bersama Sang Presiden menghalau siapa saja yang mencoba mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun yang paling membuat Atmo perih adalah kenyataan bahwa saat ini adalah sahabatnya itu sendiri yang ingin mengganti ideologi pancasila dengan yang lain. Pada tahap ini dia harus memilih antara sahabat atau negerinya. Dan Atmo tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat dengan membela negerinya, Indonesia Raya tercinta. Maka setelah MPR menyatakan Sang Presiden bersalah dan dinyatakan sebagai pemberontak yang hendak berbuat makar, dia sendirilah yang dengan mengatasnamakan kestabilan keamanan NKRI telah mengusulkan hukuman mati secara terbuka di depan rakyat banyak agar tidak ada lagi seorang pun yang berani menggoyang pancasila. Itu adalah falsafah hidup Indonesia, acuan negara yang sudah ditancapkan oleh para founding father Indonesia selama seratus tahun lamanya. Dan selama Menteri Pertahanan dan Keamanan Marsekal An. Set. masih hidup, tak akan seorang pun dibiarkan dengan tenang mengobrak-abrik Indonesia.

Kini gelap telah menggantikan merah, waktu eksekusi yang ditetapkan telah lewat dua menit. Matahari pun telah membenamkan wajahnya melalui sela-sela gedung pencakar langit yang berdiri kokoh. Sayup-sayup suara burung menghilang berganti teriakan lirih seorang manusia keblinger yang mendamba kejayaan dan kemakmuran. Seorang yang berani meneriakan visinya dan mengacungkannya tinggi-tinggi di tengah alam Indonesia yang masih bermental kerdil. Teriakan itu berasal dari tenggorokan seorang manusia yang sudah hampir habis jatah hidupnya tanpa bisa mewujudkan mimpinya. Itulah teriakan putus asa sekaligus penuh harap seorang anak manusia.

“JAYALAH INDONESIAKU… !!!” dari kejauhan terdengar pekikan Sang Presiden membahana memenuhi seluruh lapangan Monas. Semangatnya bahkan meluap keluar membanjiri seluruh kampung-kampung pinggiran kota Jakarta kemudian hingga ke seluruh pelosok terpencil negeri Indonesia Raya ini. Seluruh orang yang menyaksikan detik-detik itu terkesiap dalam satu sapuan. Hilang seluruh ingatan tentang tragedi PKI pada tahun 1966, hilang seluruh ingatan tentang kekacauan reformasi pada tahun 1998 dan hilang seluruh ingatan tentang krisis energi dan ekonomi besar-besaran yang menyebabkan 7 tahun Indonesia mengalami vakum kekuasaan pada tahun 2025. Belum pernah lagi rakyat Indonesia mendengar pekikan pengobar semangat seperti ini selama seratus tahun terakhir sejak Bung Tomo mengobarkan Surabaya dengan api semangat yang tak pernah padam dalam hati arek-arek suroboyo pada hari bergugurannya para pahlawan. Sesungguhnya rakyat Indonesia masih sangat rindu untuk dikobarkan semangatnya. Dan pada detik itu angin masih enggan untuk berhembus.

“DORR..DORR..”

Terdengar sepuluh suara tembakan dikeluarkan dari sepuluh senapan laras panjang pada waktu yang hampir bersamaan. Dan pekikan itu akhirnya padam sebelum waktunya.

Rakyat kecil tidak pernah mengerti apa itu ideologi, kenapa harus Pancasila, syariat, kapitalis atau sosialis? Namun yang jelas, selama besok masih bisa tersedia sepotong tempe dan sebakul nasi di meja makan, ideologi apapun tidak jadi masalah. Sang Presiden macam apapun asalkan mau memberi makan rakyatnya adalah presiden yang baik menurut mereka. Entah siapa Sang Presiden itu, bisa aku, kamu, atau anak lain yang tumbuh dengan membawa visi.