Kamis, 29 Juli 2010

Presiden Padang Ilalang

“… Tidak seorang pun aku ijinkan menggoyang Indonesiaku ini, akan aku pastikan garudanya tetap mengangkasa di langit Indonesia, akan aku pastikan benderanya terus berkibar meski aku sendiri yang harus mengereknya di puncak tertinggi Indonesia, dan akan aku pastikan setiap silanya mengakar mendarah daging dalam setiap laku dan gerak bangsa ini. Itu adalah janjiku, dan aku tidak akan pernah memaafkan manusia yang mencoba-coba mengancam kestabilan keamanan NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.” Salah seorang pejabat teras pemerintahan berbadan tegap menghentak-hentak hati seluruh anggota rapat dengan pidato singkatnya yang terucap lantang dan penuh kecintaan yang teramat dalam terhadap Bumi Pertiwi.

Ruangan sidang tidak lagi tenang seperti biasanya. Tidak ada satu pun yang tertidur atau bermain laptop dalam rapat ini. Air conditioner yang terpasang di dinding-dinding ruangan itu tidak dapat mendinginkan suasana yang sudah terlanjur memanas meskipun sudah disetel pada suhu yang paling minimum. Di ruangan itu hadir juga beberapa pejabat tinggi non legislatif yang diundang untuk ikut merumuskan keputusan penting itu. Ruangan juga penuh sesak oleh beberapa pejabat lainnya yang sebenarnya tidak diundang tetapi memaksa untuk ikut dalam sidang tersebut. Di depan ruang sidang tersebut duduk Ketua MPR, Prof. Dr. A.S.M yang terlihat kebingungan menghadapi begitu banyak emosi yang tercampur dalam ruang sidang. Begitu banyak orang yang saling berebut menyampaikan pendapat hingga aksi saling rebut mikrofon pun beberapa kali terjadi. Berkali-kali A.S menenangkan para peserta sidang namun sia-sia saja, suaranya tertelan oleh riuh suara ribuan orang yang berkumpul disana.

“Interupsi Bapak Ketua!! Saya sangat tidak setuju dengan keputusan pertama tadi, tidak bisakah hal itu dipertimbangkan sekali lagi? Bukankah Indonesia bisa mengangkat harga dirinya di mata dunia berkat seluruh usaha dan kerja kerasnya juga?” Ketua Fraksi Utusan Daerah, Dr. M.K asal papua angkat suara.

“Maaf Saudara M.K, harusnya anda tahu, bahwa yang dilakukannya itu adalah kejahatan sekaligus penghinaan tertinggi bagi Indonesia, tidak ada kompromi lagi bagi kejahatan semacam itu. Apa anda mentolerir tindakan semacam itu? Atau anda jangan-jangan memang berkomplot dengannya, hah?” Salah seorang anggota DPR tiba-tiba langsung menimpali tanpa ijin. Nampak jelas dari intonasinya yang tinggi, bahwa dia sangat marah dan kecewa dengan pernyataan Dr. M.K.

“Tenang, tenang semuanya!! Saya tahu kalau kita semua capek, sudah dua puluh jam hari ini kita di ruang sidang, tapi tolong logika tetap di atas emosi. Dan untuk Pak M.K, sepertinya anda masih belum menyadari bahwa yang dia lakukan itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan. Undang-undang manapun akan menindak tegas setiap perbuatan yang dapat mengancam keselamatan negaranya. Dan sekali lagi keputusan pertama sidang ini tidak bisa diganggu gugat. Sekarang ini kita sedang mencari hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya agar tidak ada lagi orang yang berani meniru apa yang sudah dilakukannya saat ini.”

Ruangan sidang hening sesaat, Dr. M.K pun diam seribu bahasa. Bukannya dia tidak tahu harus berbicara apa, namun dia takut dianggap antek atau berkomplot dan menerima perlakuan yang sama dengan orang itu. Beberapa anggota rapat nampak berbisik-bisik satu sama lain sambil sesekali saling mengedarkan pandangannya dengan penuh rasa curiga. Suasana yang terbangun saat itu di ruang sidang benar-benar tidak nyaman, hingga tidak ada seorang pun yang mau bersuara.

“Interupsi Pak Ketua, saya rasa saya tahu hukuman apa yang pantas…” tiba-tiba pejabat berbadan tegap itu sekali lagi angkat bicara.

***

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh belas lewat empat puluh lima, masih lima belas menit dari waktu yang telah ditetapkan. Angin yang berhembus di Lapangan Monas terasa sangat lambat, seakan enggan meninggalkan tempat yang menjadi saksi sejarah rapat akbar rakyat Indonesia pertama kalinya pada masa awal kemerdekaan. Saat itu lapangan ini masih bernama Lapangan Ikada, dan Soekarno masih disanjung-sanjung. Kini sudah genap seratus tahun berlalu semenjak kemerdekaan Indonesia, dan Soekarno sudah tidak lagi disanjung-sanjung. Bukan lagi Soekarno yang menjadi pahlawan di hati rakyat Indonesia, karena kini jamannya telah berbeda. Setiap jaman memiliki pahlawannya masing-masing.

Berbeda dengan saat-saat awal kemerdekaan di lapangan Ikada, sore itu lapangan Monas terasa begitu dingin dan mencekam meskipun ratusan ribu rakyat Indonesia telah kembali berkumpul dalam satu barisan yang rapat. Riuh dan ramainya rakyat jelata yang memadati selasar Monas tidak dapat menghapuskan suasana duka serta luka yang menyayat hati simpatisan Sang Presiden, sementara sebagian besar lainnya memuntahkan sumpah serapah dan umpatan serta makian atas mantan orang nomor satu di Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut.

Sang Presiden berjalan memasuki selasar Monumen Nasional dengan mata yang sembab dan langkah yang tidak lagi tegap. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak teratur, kadang tiga jam, dua jam bahkan pernah tidak tidur seharian. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa masalah yang ditimbulkan akibat tindakannya itu bisa menjadi sedemikian berat. Kepalanya terasa pusing, dan matanya yang panas terus meminta didinginkan lewat buaian kasur. Tapi tidak mungkin baginya untuk beristirahat, Sang Presiden sudah tidak lagi memiliki kekuasaan, bahkan ia tidak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri.

Di sudut podium terlihat menteri pertahanan dan keamanan Marsekal An. Set. atau yang biasa ia panggil dengan nama kecil ‘Atmo’ berdiri memandangnya dengan mata yang nanar. Pandangan keduanya menyatu, dan kalau Sang Presiden tidak berada di depan umum seperti ini, tentu ia sudah berlari menghambur ke arahnya. Sang presiden bergetar hebat saat tahu Atmo ada di sana, ia menghampirinya dengan wajah setengah tersenyum. Guratan-guratan keriput di wajahnya nampak jelas di bawah terangnya matahari sore yang berwarna kemerahan. Matanya kembali berkilat-kilat, ia tahu bahwa Atmo adalah harapan terakhirnya. Ia tahu kalau Atmo tentu mengerti akan tindakannya. Ia kenal betul siapa sosok An. Set., ia adalah seorang marsekal muda yang terbuka dengan perubahan, berpandangan jauh ke depan, pemaaf dan penyabar, namun juga sekaligus determinatif. Atmo adalah satu dari sedikit orang yang mampu memahami jalan pemikirannya.

“Mo, kamu tahu aku yang benar !! Negeri ini butuh visi, kita harus dobrak semua belenggunya, kalau Pancasila hanya jadi belenggu maka kita dobrak juga sekalian. Aku tahu Mo, suatu saat negeri ini bisa menjadi negara adikuasa, aku tahu itu Mo…” Sang Presiden berharap bahwa Atmo masih mau mendukungnya. Walaupun itu sudah agak terlambat, namun Sang Presiden tidak putus asa.

“Tidak Bang, Abang salah! Indonesia adalah Pancasila. Tidak ada satupun yang boleh memisahkan keduanya. Indonesia tanpa pancasila hanyalah raga tak bernyawa. Dan aku tidak rela nusantaraku kehilangan nyawanya.” Atmo dapat melihat raut kecewa di wajah sahabatnya itu, namun ia yakin seratus persen dengan apa yang dikatakannya. Tidak ada yang boleh menurunkan Pancasila dari tahtanya, tidak juga Sang Presiden itu sendiri.

“Mo, bukan Pancasila yang kita butuhkan!! Pancasila itu ideologi banci. Indonesia negeri yang besar, negeri yang mumpuni. Tidakkah kamu lihat apa yang telah kita lakukan dalam delapan tahun terakhir? Kita bangun angkatan laut dan udara yang tanguh sehingga negeri ini berdaulat, kita tiru keberanian Venezuela menasionalisasi perusahaan kapitalis asing, kita gratiskan kesehatan dan pendidikan, Kita adopsi kebijakan Cina menggantung para koruptor, kita tantang Amerika seperti Kuba, kita tolak semua pinjaman luar negeri, kita juga deklarasikan pada dunia bahwa Indonesia tidak berhutang satu sen pun pada siapapun. Kita angkat harga diri Indonesia. Kita telah menang menantang kapitalisme. Dan kamu pikir sistem apa yang kita terapkan dalam delapan tahun ini?! Bukan Pancasila, itu sosialis Mo!! Dari sana kita dapat keberanian itu. Di kepalaku ini sudah ada cap Seorang-Sosialis-Visioner-yang-bertekad-memberi-kejayaan-bagi-Indonesia, bukan kapitalis atau pancasilais.” Sang Presiden setengah berbisik di telinga Atmo dengan penuh semangat yang berapi-api layaknya Indonesia baru merdeka.

“Ya, dan Abang lihat sendiri akibatnya bagi negeri kita saat ini: embargo militer, embargo ekonomi, dianggap teroris lah, anti-demokrasi lah, gak karu-karuan negeri kita sekarang! Apalagi Abang deklarasikan sosialis menggantikan pancasila. Tidak heran kini Abang dianggap sebagai pemberontak gila! Rakyat kita sudah cukup menderita…”

“DIAM MO, DIAM!! Itu memang harga yang harus dibayar untuk membeli kembali harga diri kita. Lagipula kamu tahu apa tentang penderitaan? Akulah anak yang dibesarkan dalam penderitaan, bukan kamu! Akulah anak yang kelaparan selama 16 tahun di desa terbelakang tanpa listrik, bukan kamu! Akulah anak yang telah dikecewakan oleh negeri ini, bukan kamu! Tapi aku masih cinta negeri ini. Aku memaafkan negeri ini… Hingga pada suatu senja di bukit depan gubuk reyot orang tuaku, di sebuah padang ilalang, aku berjanji bahwa aku akan membawa visi bagi negeri ini. Akan aku wujudkan NEGARA ADIDAYA INDONESIA RAYA!!” Kini suara Sang Presiden setengah bergema di seantero lapangan Monas yang sedang khidmat-khidmatnya menunggu matahari terbenam.

“Abang sudah kelewat gila, bukan cinta yang Abang bawa, tapi petaka. Biarlah negeri ini dalam ketentraman. Kita bangsa Indonesia tidak perlu kejayaan, cukup kesejahteraan dan kemakmuran.“ Atmo masih bisa mengendalikan dirinya, ia menyampaikan kata perkatanya dengan sangat tenang dan jelas.

“Lemah kamu! Sia-sia aku membagi mimpiku denganmu …”

“Aku kagum dengan mimpi-mimpimu Bang, tapi mengganti ideologi? Itu gila!! Sama saja Abang mencabut nyawa Indonesia.”

“Aku tahu yang terbaik bagi Indonesia Mo. Aku ini orang Indonesia, aku bangga menjadi orang Indonesia , aku CINTA Indonesia.”

“Sudah Bang, cukup! Biarlah rakyat yang menentukan. Aku sudah tidak mau tahu lagi tentang ide gila Abang itu.” Atmo tidak sanggup lagi berdebat dengan sahabatnya, air mata menetes perlahan dari sudut matanya seraya ia berbalik meninggalkan sahabatnya sendiri di tengah keramaian.

“ATMO!! Dasar pengkhianat!!! Ingat Mo, suatu saat kamu akan mengakui kalau aku yang benar… Ingat itu!“ Sang Presiden berteriak lantang setengah marah yang kemudian langsung disambut gemuruh cacian dan makian dari rakyat yang juga marah besar pada Sang Presiden.

Atmo terus berjalan menjauhi Sang Presiden dan keramaian yang ada di sekitarnya menuju masjid Istiqlal di seberang jalan. Jalanan begitu lenggang dan sepi, tidak nampak satu kendaraan pun yang berderu menembus jalanan di sore itu. Nampak semua orang telah meninggalkan aktivitasnya masing-masing untuk menyaksikan kejadian paling bersejarah di tahun 2045 ini. Rasanya belum lama Atmo tertawa bersama sahabatnya di teras rumah sambil membicarakan masa depan negeri ini.

Delapan tahun yang lalu pada suatu senja di waktu yang sama dengan saat ini, pernah Sang Presiden berkunjung ke rumahnya di Bandung. Teras mungil berukuran 3m x 2.5m dengan dua kursi rotan mungil, sebuah meja duduk dan dua buah cangkir kopi menjadi saksi awal pembentukan Indonesia baru yang direncanakan kedua calon pahlawan yang berjiwa muda itu. Sinar merah matahari sore masuk diam-diam lewat celah pohon cemara di trotoar pekarangan depan rumah. Pohon-pohon cemara itu berbaris rapi dengan tinggi yang hampir sama dan masing-masing berjarak satu atau dua hasta satu sama lain. Tidak ada pagar besi di pekarangan rumah Atmo, hanya tanaman perdu setinggi pinggang orang dewasa yang membatasi wilayah rumahnya dengan bahu jalan. Maklum, tidak ada yang berani berbuat macam-macam apalagi mencuri di komplek dinas hunian para perwira senior TNI AU itu. Di sisi selatan tembok rumah Atmo, terlihat beberapa tanaman bonsai tua yang sudah tidak lagi nge-trend masih meliuk-liukan batangnya di dalam pot-pot keramik cina dengan motif naga dan barong. Sembilan buah bonsai itu dipamerkan di susunan batu alam berundak yang dialiri air sehingga tampak warna kemerahan lembayung senja memantul dari bebatuan pipih itu. Bonsai-bonsai kecil dengan angkuhnya memancarkan keindahan yang luar biasa lewat strukturnya yang unik, seakan memanggil setiap manusia yang melihatnya untuk memiliki setiap lekuk indah batangnya. Tidak ada satu pun bunga warna-warni yang tampak menghiasi hamparan rumput jepang di halaman rumahnya. Namun hal tersebut tidak mengurangi satu pun keindahan dari pekarangan rumah marsekal muda itu.

Di sana Sang Presiden mengungkapkan rencana-rencana kebijakan yang akan diambilnya dalam lima tahun ke depan. Segera setelah ia dilantik menjadi presiden. Saat itu dia hanyalah seorang kandidat calon presiden yang tidak terlalu diunggulkan dan Atmo pun belum menjadi seorang menteri, hanya seorang marsekal muda yang memiliki semangat perubahan. Darinyalah Atmo belajar banyak tentang hakikat kepemimpinan, dan darinya juga ia mendapatkan keberanian untuk merealisasikan idealismenya. Maka ketika Sang Presiden menceritakan impiannya atas Indonesia dan apa yang akan dilakukannya ketika menjadi presiden nanti, Atmo langsung mendukungnya.

“Benar Mo, kamu siap dukung aku?“

“Dengan segenap jiwa raga Bang” Atmo memang menghormati Sang Presiden dengan memanggilnya ‘Abang’ walaupun umur mereka hanya terpaut satu bulan kurang lima hari. Bahkan zodiak mereka pun sama, meskipun keduanya percaya bahwa masalah tidak akan selesai dengan membaca ramalan asmara di majalah anak umur belasan. Bagi mereka, zodiak hanyalah suatu pembenaran bagi para kaum fatalis yang malas berusaha.

“Kalau aku jadi presiden Mo, aku mau kamu yang menjadi menteri pertahananku, aku butuh nasehat-nasehat bijakmu Mo.”

“Alah, aku tidak sebijak itu kok Bang, lagian kalo cuma butuh nasehat kenapa tidak minta paranormal saja jadi menteri Abang? Hehe..” Atmo tertawa renyah sambil menyeruput kopi manisnya.

“Yah, tidak cuma itu toh Mo, aku juga butuh perlindungan darimu, kamu kan marsekal, pasti punya banyak anak buah. Anak buahmu kan badannya gede-gede kayak bodyguard, yakin deh tidak bakalan ada yang berani ganggu aku. Hahaha..”

“Ah, ngawur!!” Keduanya kemudian terkekeh-kekeh dan terus mengobrol hingga matahari terbenam di sebuah atap rumah tingkat dua bergaya minimalis, atau paling tidak yang terlihat demikian. Karena setelah melewati atap rumah itu, matahari tidak lagi tampak di mata kedua lelaki empat puluhan itu, yang tersisa hanya lembayung kemerahan yang perlahan-lahan tertutupi oleh gelapnya malam.

Setelah adzan magrib berkumandang keduanya menuju masjid terdekat. Mereka sholat berjamaah disana, dan dilanjutkan hingga sholat isya selesai. Selama menunggu isya di masjid, keduanya melakukan pembinaan kecil-kecilan kepada tujuh remaja masjid yang berumur dua puluhan dengan menceritakan kisah kaderisasi ideal yang dilakukan oleh sosok H. Al. B, tokoh pergerakan yang dikagumi oleh kedua lelaki paruh baya itu.

***

Waktu kini sudah menunjukkan pukul delapan belas tepat, ini adalah waktunya. Di sudut teras masjid Istiqlal Atmo tersungkur dalam sujud memohon pengampunan sekaligus mengucap rasa syukur. Air matanya mengalir tanpa henti dari matanya yang sudah sembab. Ia menangis sesenggukan. Sulit baginya mengendalikan nafasnya saat mengingat kembali wajah sahabatnya itu. Bagaimana dia begitu mencintai negeri ini, bagaimana dia bercerita tentang mimpi-mimpinya, dan juga setiap kelakar serta canda yang sering dilakukannya saat menyeruput kopi manis sambil berdiskusi berdua. Dalam lima tahun pertama dia mendukung sepenuh hati keputusan-keputusan radikal sahabatnya dengan menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menjaga kedaulatan Negara Indonesia dengan sepenuh hati. Dan pada saat Sang Presiden terpilih lagi di lima tahun kedua ia masih setia menjadi menteri di kabinet Sang Presiden. Atmo berjuang bersama Sang Presiden menghalau siapa saja yang mencoba mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun yang paling membuat Atmo perih adalah kenyataan bahwa saat ini adalah sahabatnya itu sendiri yang ingin mengganti ideologi pancasila dengan yang lain. Pada tahap ini dia harus memilih antara sahabat atau negerinya. Dan Atmo tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat dengan membela negerinya, Indonesia Raya tercinta. Maka setelah MPR menyatakan Sang Presiden bersalah dan dinyatakan sebagai pemberontak yang hendak berbuat makar, dia sendirilah yang dengan mengatasnamakan kestabilan keamanan NKRI telah mengusulkan hukuman mati secara terbuka di depan rakyat banyak agar tidak ada lagi seorang pun yang berani menggoyang pancasila. Itu adalah falsafah hidup Indonesia, acuan negara yang sudah ditancapkan oleh para founding father Indonesia selama seratus tahun lamanya. Dan selama Menteri Pertahanan dan Keamanan Marsekal An. Set. masih hidup, tak akan seorang pun dibiarkan dengan tenang mengobrak-abrik Indonesia.

Kini gelap telah menggantikan merah, waktu eksekusi yang ditetapkan telah lewat dua menit. Matahari pun telah membenamkan wajahnya melalui sela-sela gedung pencakar langit yang berdiri kokoh. Sayup-sayup suara burung menghilang berganti teriakan lirih seorang manusia keblinger yang mendamba kejayaan dan kemakmuran. Seorang yang berani meneriakan visinya dan mengacungkannya tinggi-tinggi di tengah alam Indonesia yang masih bermental kerdil. Teriakan itu berasal dari tenggorokan seorang manusia yang sudah hampir habis jatah hidupnya tanpa bisa mewujudkan mimpinya. Itulah teriakan putus asa sekaligus penuh harap seorang anak manusia.

“JAYALAH INDONESIAKU… !!!” dari kejauhan terdengar pekikan Sang Presiden membahana memenuhi seluruh lapangan Monas. Semangatnya bahkan meluap keluar membanjiri seluruh kampung-kampung pinggiran kota Jakarta kemudian hingga ke seluruh pelosok terpencil negeri Indonesia Raya ini. Seluruh orang yang menyaksikan detik-detik itu terkesiap dalam satu sapuan. Hilang seluruh ingatan tentang tragedi PKI pada tahun 1966, hilang seluruh ingatan tentang kekacauan reformasi pada tahun 1998 dan hilang seluruh ingatan tentang krisis energi dan ekonomi besar-besaran yang menyebabkan 7 tahun Indonesia mengalami vakum kekuasaan pada tahun 2025. Belum pernah lagi rakyat Indonesia mendengar pekikan pengobar semangat seperti ini selama seratus tahun terakhir sejak Bung Tomo mengobarkan Surabaya dengan api semangat yang tak pernah padam dalam hati arek-arek suroboyo pada hari bergugurannya para pahlawan. Sesungguhnya rakyat Indonesia masih sangat rindu untuk dikobarkan semangatnya. Dan pada detik itu angin masih enggan untuk berhembus.

“DORR..DORR..”

Terdengar sepuluh suara tembakan dikeluarkan dari sepuluh senapan laras panjang pada waktu yang hampir bersamaan. Dan pekikan itu akhirnya padam sebelum waktunya.

Rakyat kecil tidak pernah mengerti apa itu ideologi, kenapa harus Pancasila, syariat, kapitalis atau sosialis? Namun yang jelas, selama besok masih bisa tersedia sepotong tempe dan sebakul nasi di meja makan, ideologi apapun tidak jadi masalah. Sang Presiden macam apapun asalkan mau memberi makan rakyatnya adalah presiden yang baik menurut mereka. Entah siapa Sang Presiden itu, bisa aku, kamu, atau anak lain yang tumbuh dengan membawa visi.

Tidak ada komentar: