Minggu, 20 Juni 2010

KETIKA CINTA HARUS USAI


Aku memandang lekat tubuh yang tengah tergolek tidur di sampingku. Tegap dan tampan, tak bercacat. Tubuh yang sangat kukenal, yang telah berada disisiku selama 10 tahun terakhir hidupku. Tubuh seorang yang sangat kucintai, yang menjadi ayah dari anak-anakku.


Benakku menembus waktu, mengingat masa ketika kuliah dulu. Siapa yang tak pernah mendengar nama Steven. Mahasiswa kedokteran dari universitas negeri, ketua senat, aktivis rohani, kader Lembaga Rohani Kampus, dan seabrek jabatan lainnya.


Siapa pula yang tak kenal dengannya di kampus. Steven sering muncul di depan publik. Kepandaiannya berorasi mengagumkan. Menggugah semangat dan memukau yang mendengarnya.

Aku merasa amat mengenal Steven. Kami satu angkatan dan sering bekerja sama dalam banyak kegiatan dan kepanitiaan. Beberapa kali Steven menjadi ketua dan aku sebagai sekretaris. Sudah menjadi rahasia umum kalau Steven banyak penggemarnya. Fans-nya berasal dari beragam kalangan. Dari cewek gaul sampai aktivis, satu angkatan, hingga adik kelas, sefakultas maupun tidak. Steven punya kharisma yang luar biasa. Tutur katanya lembut dan sopan, wajahnya putih bersinar. Nilai plus yang lain adalah IP-nya tetap tinggi walau aktivitasnya bejibun.


Menjalani banyak kegiatan bersama dan interaksi berfrekuensi tinggi diantara kami berdua, diam-diam menjadikan aku sebagai salah satu yang berada diantara jajaran para penggemar gelapnya. Simpati yang mulai berkembang dari benih itu kukubur ke sedalam-dalamnya hatiku. Biar ia terpendam di sana dan tak ada yang tahu.


Aku dan Steven, kami sama-sama tahu, tak ada kata pacaran dalam kosa kata kami. Apalagi kami berada dalam satu wadah pembinaan. Sekecil apa pun “rasa” yang sempat menyeruak, sesegera mungkin aku enyahkan.


Kadangkala sulit bagiku untuk mengendalikan gejolak hati. Berada pada masa usia yang telah cukup untuk mengenal kata “cinta”. Berada pada masa di mana di dunia yang sama masyarakat telah maklum dengan hubungan cinta di kalangan mahasiswa.


Tidak pernah terlintas sedikitpun aku akan pacaran. Sejak kecil ayah telah menanamkan pendidikan yang keras dan benar. Memproteksi anak-anak perempuannya dari segala kemungkinan fitnah.


Tapi hati ini. Uhh, tak mungkin aku membohongi diri sendiri bahwa aku menyukai Steven. Steven perhatian padaku? Ah,masa iya? Kutepuk pipiku untuk menyadarkan diri dari keterlenaan sesaat. Ya, Steven memang perhatian padaku, tapi juga perhatian ke yang lainnya. Seorang pemimpin dituntut untuk perhatian kepada anak buahnya. Tidak aneh kalau dia sering menghubungiku untuk membicarakan berbagai masalah dalam kegiatan kami.


Aku berada di balik lemari sekretariat, sibuk membereskan file-file Forum Studi. Kala itu sekretariat sepi, hanya ada aku seorang. Tiba-tiba terdengar percakapan dari balik lemari. Aku tak bisa melihat siapa mereka. Mereka pun tak menyadari ada sepasang telinga yang berada di balik lemari.


“Gel, kamu tahu nggak? Kak Steven perhatian banget ke aku. Aku nggak terlihat di rapat sekali saja, dia langsung menelepon aku!” seru suara pertama.


“Wah, kamu beruntung banget Mel. Kak Steven kan cakep, pinter, kaya lagi. Lumayanlah, biar Kijang tapi keluaran terbaru loh.” Suara ke dua menimpali.


“Bagiku dia perfect banget. Kamu lihat sendiri kan tadi bagaimana dia memandangku. Terus senyumnya. Manis banget bo!”


“Memang kalau aku perhatiin, Kak Steven ada feeling sama kamu. Tapi saingannya banyak Mel. Tau kan siapa aja yang naksir dia. Putri, Heni, Sinta. Belum lagi kakak-kakak angkatan.”


“Masa bodoh sama mereka. Yang penting Kak Steven suka sama aku.” Terselip nada GR dari suaranya.


Bukannya aku bermaksud menguping, tapi dialog itu tersimak dengan sendirinya. Dari suaranya aku bisa mengenali mereka. Adik tingkat, 3 angkatan di bawahku. Rasanya tak salah juga kalau ia merasa GR. Kadang Steven memang terlalu tebar pesona. Berulang kali kudengar para kawannya menasehatinya tentang masalah ini. Akhirnya Steven menyadari bahwa kharismanya telah menyebabkan banyak hati yang jatuh bergelimpangan. Dan ia mulai membangun jarak.


Kini tubuh laki-laki yang berstatus suamiku itu bergerak. Menggeliat perlahan. Lalu tetap mendengkur halus. Kupandangi wajahnya. Hidung mancungnya menurun kepada kedua buah cinta kami, Josh dan Abigail. Kata banyak orang, Josh adalah fotocopy-an dari ayahnya.


Aku perhatikan bibir suamiku yang berwarna merah. Agak tak lazim memang seorang laki-laki berbibir merah. Masih kuingat saat bibir itu mengucap janji setia. Sebuah perjanjian yang amat teguh dalam pandangan Tuhan. Betapa mantap ia berucap dalam janji pernikahan. Mengingatnya menyeruakkan rasa haru.
Membuat tetes kecil bergulir di kedua pipiku.

*****

Sore itu aku dan ayah ibuku sedang mengobrol di teras belakang sambil menyamil kue buatan ibu.


“Nduk, sekarang apa rencanamu selanjutnya?” Ayah tetap saja memanggilku dengan ‘Nduk’, panggilan terhadap anak perempuan dalam bahasa Jawa. “PTTmu sudah selesai. Kamu mau pilih kuliah lagi ambil spesialis atau mau nikah?”

Dahiku mengernyit. Nikah? “Nikah Yah? Mau nikah sama siapa? Nggak ada calon nih!”


“Masih ingat Bram, putranya Om dan Tante Kusumadewa? Dulu waktu kecil sering main sama kamu.”


Keluarga Kusumadewa, punya bisnis besar. Keluarga mereka memang bersahabat dengan keluargaku. Kuingat pula Bram kecil yang sering merebut dan merusakkan mainanku. Aku menganguk-angguk tanda ingat.


“Sekarang Bram sudah jadi Branch Manager di perusahaan papanya. Dia juga punya bisnis otomotif. Bengkel dan tempat modifikasi. Ayah kemarin ke sana. Lumayan besar, pelanggannya juga banyak sepertinya.”


“Tante Rina sering ngobrol-ngobrol sama ibu. Dia ingin mencarikan istri untuk Bram. Katanya sudah cari kemana-mana nggak ada yang cocok. Eh setelah ketemu kamu beberapa kali dan ngobrol sama kamu seperti kemarin itu, dia bilang pilihannya jatuh ke kamu Nduk.” Ibu menjelaskan sambil menuangkan the dari teko ke dalam cangkir ayah yang sudah kosong. “Tante Rina itu seneng lho sama kamu. Katanya kamu cocok jadi istri Bram.”


“Oooo.begitu,” ujarku.


“Bagaimana Nduk?” tanya ayah.


“Bagaimana apanya Yah?” tanyaku kembali.


“Kamu mau nggak?”


“Ihhhh Ayah. Nggak bisa dijawab sekarang dong! Harus dipikir-pikir, harus saling kenal. Paling tidak ketemu dulu. Belum tentu Bram juga langsung mau kan Yah.”

Akhirnya tibalah saat pertemuan itu. Om Kusuma, Tante Rina, dan Bram datang ke rumah kami tepat pukul tujuh malam. Setelah sedikit basa-basi di ruang tamu, kami lalu berbincang di meja makan, berusaha mengakrabkan antara kedua keluarga.


Bram kini tidak terlalu banyak berbeda dengan Bram kecil. Ketampanan yang telah terlihat di masa kecil kini makin menunjukkan kesempurnaannya. Penampilannya perlente dengan pakaian dari merek terkenal. Tercium pula aroma wangi yang berasal dari tubuhnya. Alamak, gumamku dalam hati, aku saja tak pernah berparfum, kecuali jika mau ibadah.


Selama perbincangan itu aku sudah merasa tidak sreg. Entah kenapa. Kalau bicara masalah fisik, Bram memang bak pemain sinetron. Tapi namanya tidak sreg, ya tidak sreg. Hal begini kan tidak bisa dipaksa-paksa.


Ditengah-tengah asyiknya mengobrol, tiba-tiba Om Kusuma bicara dengan nada keras, “Bram memang harus punya istri seperti Melvina. Supaya dia bisa belajar banyak tentang agama dan tidak lagi keluyuran ke café sampai pagi.”


Semuanya langsung terdiam. Tante Rina dan Bram memperlihatkan mimik wajah gusar mendengar kata-kata Om Kusuma. Aku, ayah, dan ibu juga kaget. Ibu berusaha mencairkan suasana yang jadi sedikit dingin dengan menawarkan sup asparagus kepada kami semua.


Oopss, rupanya Bram ini anak café. Nggak heran juga, terlihat dari gayanya. Sepulangnya mereka dari rumah kami, ayah mengatakan akan mencari informasi lebih jauh tentang Bram. Bagaimana kehidupan dan pergaulannya.

Om dan Tante Kusumadewa cukup taat beribadah. Tapi jaman sekarang orang tua tidak bisa dijadikan standar bagi kesalehan seorang anak. Anak pengusaha belum tentu jadi anak baik dan sopan. Anak perampok belum tentu perampok juga.


Aku pasrah, memohon kepada Tuhan diberi jodoh yang terbaik bagiku. Aku percaya karena Dia pasti akan mengirimkannya bagiku.


Kalau Bram bukan jodohku, pasti Tuhan akan tunjukkan jalannya, dan begitu pula jika sebaliknya.


Kabar itu justru datang dari Tante Rina sendiri. Bukan dari siapa-siapa yang menyebarkan gossip. Bukan pula dari Toni, sepupuku yang diberi tugas ayah untuk mencari tahu tentang Bram.


Tante Rina berkunjung ke rumah sambil bercucuran air mata lalu mencurahkan isi hatinya pada ibu. “Jeng, hancur sudah hati saya. Mau ditaruh dimana wajah dan kehormatan keluarga Kusumadewa.” Isak Tante Rina sesenggukan. “Memang Bram anaknya susah diatur. Tapi saya tak menyangka semuanya jadi begini. Rasanya kami sudah berusaha mendidiknya dengan benar.”


Ibu menenangkan sambil mengusap-usap pundak Tante Rina. “Tenanglah Mbakyu. Yang sabar. Memang ada apa tho?!” Sekonyong-konyong tangisnya malah jadi tak terbendung. Aku bangkit menyodorkan tissue kepada Tante Rina.

“Bram itu Jeng..dia.dia.dia.menghamili sekretarisnya!” Seusai keterbata-bataannya, Tante Rina melanjutkan tangisnya. “Perempuan itu menuntut untuk dinikahi. Kami tak bisa menolak.”


“Hah??!!Apa??!!” ujarku dan ibu bersamaan.


Benarlah ini jawaban dari Tuhan. Bram bukan jodohku. Aku menatap trenyuh kepada Tante Rina. Kasihan, pasti berat sekali bebannya menerima kenyataan darah dagingnya menghamili anak orang di luar nikah. Semoga Bram benar-benar bertobat dan mau memperbaiki dirinya.


“Saya nggak enak sama Jeng, sama Melvina,” kata Tante Rina setelah tangisnya mereda. “Padahal rencana sudah mau lamaran. Tadinya saya berharap sekali kita bisa besanan. Melvina pasti bisa membimbing Bram untuk menjadi lebih baik.”


“Sudahlah Mbakyu. Kita tidak apa-apa kok. Keluarga kami tetap akan menjadi sahabat keluarga Mbakyu. Semoga jodoh Bram inilah yang terbaik. Mbakyu yang tabah ya!”


Batalnya perjodohan antara aku dan Bram tidak memberikan dampak apapun pada kehidupanku. Aku tetap memohon jodoh kepada Sang Yang Maha Mendengar.

Tak sampai sebulan kemudian, dengan tak disangka-sanga, datanglah serombongan keluarga ke rumahku. Mereka hanya punya satu tujuan, melamarku.

Suatu tahun baru, 10 tahun yang lalu, serombongan keluarga datang. Aku, ayah dan ibu kaget bukan kepalang. Kami tidak mengira akan ada yang datang membawa sepasukan orang dengan berderet mobil yang tiba-tiba sudah rapi parkir di depan rumah. Dua hari sebelumnya Steven memang meneleponku. Katanya ia akan ke rumahku Tahun Baru ini. Tapi, siapa yang mengira seperti ini. Kupikir ia sekedar bertemu denganku atau ada kepentingan tertentu.

Dengan sedikit basa-basi, orang tua Steven menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk melamarku. Ditodong begini aku tak sanggup berkutik. Bunga-bunga di taman hatiku pun semerbak, setelah sekian lama dipendam kini bermekaran.

Ayah, ibu dan keluarga semua menyukai Steven. Tentu saja! Apa lagi yang kurang dari seorang Steven? Tampan, pandai, kaya, dan baik. Ayah Steven juga pengusaha sukses, walau kalibernya sedikit di bawah Om Kusumadewa.

Steven adalah sosok sempurna yang berwujud nyata. Membuat bangga bagi yang menggandengnya. Menyenangkan diajak ngobrol. Tidak memalukan bagi orangtua yang menjadikannya menantu. Dan pasti akan jadi suami yang bisa membimbingku, bisa mengerti aku, dan menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Siapalah yang sanggup menolak Steven?

Terlihat orangtuaku langsung jatuh hati pada Steven. Tapi ayah tetap menyerahkan keputusan padaku, karena akulah yang akan menjalani pernikahan. Aku diam ketika ditanya.

“Melvina diam saja, berarti iya. Begitu kan Pak Sam?” ujar ayah Steven. Ayah mengangguk-angguk saja.

“Maaf,” aku berpaling ke arah Steven, “belum bisa langsung menjawab ya atau tidak. Beri aku kesempatan untuk mempertimbangkannya.”

“Oh monggo, silahkan saja. Kalau Melvina butuh waktu, sampaikan saja kira-kira berapa lama akan mempertimbangkan lamaran ini dan kapan akan memberikan jawaban. Tapi jangan lama-lama. Kasian Steven lho…!” ayah Steven menjawab sambil berseloroh.

Aku diam saja, bingung mau menjawab apa. Aku sendiri tidak tahu berapa lama yang kubutuhkan untuk mengambil keputusan terpenting dalam hidupku ini.

“Begini saja Mas, kita sama-sama berdoa saja semoga semua dimudahkan oleh Tuhan. Nanti kalau Melvina sudah bisa memutuskan, saya yang akan menghubungi Mas Yudha. Bagaimana Mas?” kata ayah.


Ayah Steven melirik ke arah Steven. Steven mengangguk pelan. “Baiklah Pak Yudha, kalau memang begitu. Yah, memang sebaiknya hal-hal seperti pernikahan ini tidak terburu-buru menjawabnya. Kami memang tidak mengharapkan ada jawaban saat ini juga. Paling tidak kita sudah bertemu, nambah saudara. Kami juga ingin mengenal Melvina lebih dekat, juga Bapak dan Ibu sekeluarga. Karena, terus terang kami juga kaget. Steven ini nggak ada angin nggak ada hujan, tahu-tahu minta saya dan mamanya untuk melamar. Padahal saya nggak pernah lihat Steven itu pacaran. Lha ini anak mau nikah sama siapa tho? Paling tidak kan calonnya mesti dikenalkan dulu, diajak main ke rumah. Bergaul sama keluarga besar. Dilihat bibit, bebet, bobot. Dan itu kan nggak langsung ujug-ujug begini, pakai waktu. Tapi Steven ngotot, katanya sistemnya bukan begitu, nggak ada pacaran-pacaran. Ya sudah akhirnya kami berembug dengan keluarga untuk datang hari ini. Kami ini hanya mendapatkan sedikit gambaran tentang Melvina dan keluarga dari Steven. Jadi kami senang sekali bisa berkenalan dengan Bapak sekeluaga. Kami minta maaf kalau kedatangan kami merepotkan.”


“Wah nggak kok Mas, sama sekali tidak merepotkan. Lha malah seneng kok dikunjungi sekeluarga besar begini.” Ayah tersenyum menanggapi penuturan ayah Steven yang panjang dan lebar. “Kami harap Steven bersedia menunggu jawaban dari Melvina. Dan kami mohon apapun jawabannya nanti tidak membuat rasa tidak enak diantara kita semua. Mudah-mudahan masih bisa terus bersahabat ya Mas…!”


Malamnya kuceritakan kedatangan Steven sekeluarga kepada sahabatku yang juga satu kuliah dengan aku dan Steven dulu. Menurutnya, dari informasi yang bisa dipercaya, Steven memang sudah menyukaiku sejak kuliah.
Oh, itukah sebabnya ia selalu memilihku menjadi sekretaris? Katanya, ketika kabar aku akan dilamar oleh Bram sampai ke telinganya, Steven kalang kabut. Dan akhirnya tanpa ba bi bu ia langsung datang melamar.


Akhirnya, Steven berhasil membawaku ke pelaminan. Betapa bangganya aku bersanding dengannya. Sang aktivis yang didamba banyak gadis. Dan kenyataannya akulah yang mendapatkannya, setelah menyingkirkan banyak saingan di hati Steven. Kudapati tatapan mata cemburu dan iri dari beberapa teman dan adik kelas yang kutahu pernah menyukai Steven, saat mereka datang ke resepsi pernikahan kami.


Hari-hari kami selanjutnya tentulah sangat indah. Bak lapis legit yang manisnya selalu ada di setiap gigitan. Tak ada duka. Tak ada lagi gelisah, gundah. Semua yang ada hanyalah bahagia dan bahagia. Lalu cinta kami berbuah. Lahir Josh, lalu Abigail. Semuanya menambah manisnya cinta kami.


Di awal pernikahan kami, aku dan Steven tetap aktif di dalam kegiatan keagamaan dan sosial. Hampir setiap malam kami habiskan dengan beribadah bersama.

*****

Kini air mataku mengalir di kedua pipiku. Aku terisak tak bersuara. Memandangi wajah tampan yang tetap terlelap tenang.


Beberapa tahun yang lalu, Steven sibuk, aku pun sibuk. Sebagai dokter spesialis jantung, Steven tergolong dokter muda yang cukup laris. Aku sibuk mengurus anak, rumah, dan praktek di puskesmas. Kesibukan kami membuat tak lagi aktif dan terikat dengan kegiatan agama yang sebelumnya kami geluti. Tali temali yang selama ini membentengi, satu persatu mulai putus.


Di awal karirnya, Steven sering bercerita ia beberapa kali terlewat waktu makan kalau sedang ada operasi yang memakan waktu berjam-jam, dari satu waktu operasi ke waktu operasi yang lain. Aku selalu mengingatkan agar ia selalu makan tepat waktu.


“Kalau lagi operasi mana bisa ditinggal,” kata Steven saat aku menegurnya. “Masa untuk makan nggak bisa ditinggal sebentar saja?” kataku.


“Kamu kayak nggak ngerti saja. Kalau ditinggal bisa-bisa pasiennya meninggal. Nanti keluarga pasien menuntut dan menuduh malpraktek. Yah, ini kan darurat, nggak apa-apa kan?” kata Steven enteng. Awalnya ia menganggap darurat, tapi kali kesekian saat tidak ada darurat, ia semakin menganggapnya enteng. Aku heran dengan sikapnya yang sangat mudah menggampangkan kesehatan.


Entah kapan dan bagaimana mulainya, Steven mulai sering pulang malam di luar jadwal rumah sakit. Namun, aku percaya penuh padanya. Dan sebagai istri yang baik aku berusaha untuk tak banyak bertanya yang macam-macam. Steven mulai mempunyai komunitas tersendiri dalam lingkungannya. Komunitas yang sangat berbeda dengan komunitas kami semasa kuliah dulu.


Waktu keluarga kami sangat garing. Steven malas mengajak ngobrol. Kalau ia capek, aku disuruh menemani anak-anak.
Apalagi kebersamaan, sudah lama sekali kami tinggalkan. Capek! Begitu selalu alasannya. Hubungan di tempat tidur juga terkena imbasnya. Segala-galanya jadi kering, tanpa ruh. Menjalaninya bagai rutinitas dan kewajiban semata.


Buah cinta kami mulai besar dan mulai nakal. Aku sering kewalahan menghadapinya sendirian. Kalau aku bicara pada Steven, jawabnya, “Lho itu tanggung jawabmu sebagai ibu. Kamu bisa mendidik anak nggak sih? Tugasku itu cari uang!”


Ia pasti lupa isi perjanjian nikah di pernikahan kami dulu. “Mendidik anak adalah tugas kedua orang tua, baik ibu maupun bapak. Ayah yang menjadi kepala rumah tangga harus bisa menjadi nahkoda yang baik bagi biduk rumah tangganya. Dasar-dasar pendidikan itu harus berdasarkan arahan sang ayah.”


Kadangkala aku bisa sabar menghadapi Steven, tapi kadang pula kami bertengkar hebat. Steven semakin sering pulang diatas jam 1 pagi. Kalau kutelepon ke rumas sakit, dijawab kalau Steven sudah pulang dan tidak ada jadwal yang mengharuskannya pulang pagi.
Walau begitu aku tetap berkata pada diriku sendiri, everything runs smooth, everything is ok.


Jam berapa pun ia pulang, aku tetap berusaha melayaninya. Mulai dari membuatkannya teh, kopi atau susu panas. Atau menyiapkan air panas kalau ia ingin mandi. Secapek apapun aku, kuusahakan sekuat tenaga untuk menyambut kedatangannya dengan senyum.


Stevenlah yang biasa pulang dengan wajah kusut masai dan mata merah. Tanpa senyum. Hanya perintah yang keluar dari bibir merahnya. Kadang-kadang ia bersikap manis. Tapi itu hanya jika ia ingin melampiaskan hasratnya padaku. Aku bukanlah seorang istri yang mau dilaknat oleh malaikat hingga pagi. Tugas seorang istri berusaha kutunaikan dengan baik.


Malam-malam panjang, ketika menanti Steven pulang, sering kuisi dengan doa-doa. Aku memohon agak Tuhan membuka kembali hati Steven dan memberikan takdir yang baik bagi kami sekeluarga.


“Melvina, aku ada berita nih! Tapi kamu jangan kaget ya. Kamu percaya kan sama aku? Ini tentang Steven,” suara Toni, sepupuku, terdengar di HPku. Aku mengangguk walau tahu ia tak akan melihat anggukanku.

“Aku beberapa kali ini melihat suamimu. Pertama kali aku lihat dia lagi makan siang sama perempuan yang rambutnya dicat kemerahan di Chopstix Pondok Indah Mall. Nggak jauh kan dari tempat suamimu praktek.”


Toni melanjutkan, “Bukan cuma itu, aku pernah nguntit suamimu itu ke beberapa tempat.
Afterhour, D’S Place, Barbados.”


“Oh ya?” kataku datar.


“Kamu kok nggak kaget?” tanya Toni.


“Kaget? Memang kenapa?” tanyaku bingung.


“Melvina! Itu tuh tempat dugem, tau nggak?” jawab Toni.


“Du…gem?”

“Itu lho dunia gemerlap. Afterhour itu bar dan tempat billiard. Yang dua lagi yah semacam itu, sama saja. Aku lihat Steven sama cewek dengan mata kepala sendiri. Percaya deh, dia minum minuman, turun ke floor, peluk-pelukan sama cewek sok bule itu.” Nada suara Toni berapi-api penuh emosi.


Aku tak percaya, gumam bathinku. Tapi tak urung, tangan ini gemetar memegang HP. “Kamu salah orang mungkin Ton. Orang yang mirip Steven.”


“Salah orang bagaimana. Jelas banget gitu kok! Aku ngeliat dia sekitar jam 1 malem lewat. Dia sering nggak ada di rumah nggak kalau jam-jam segitu?”


Aku tersentak. Ya, Steven memang sering pulang pagi, dan ia nyata-nyata tidak sedang tugas di rumah sakit. Tapi…main billiard, minum, berpelukan dengan perempuan…? Rasanya sulit hati ini mempercayainya.


Hari ini, baru saja, semua pertanyaan yang bergumul di hatiku dan segala hal yang menjadi rahasia selama ini terkuak lebar. Steven berkata jujur padaku bahwa ia mencintai perempuan lain, ingin bercerai dariku dan akan menikahi perempuan itu. DUARRRRRRR!!!!!! Bagai disambar geledek rasanya jantungku. Aku limbung.


“Baru kali ini aku benar-benar merasakan jatuh cinta. Maaf, sejak dulu aku tak pernah merasa mencintai kamu Melvina. Aku mau ceraikan kamu!” Bibir itu berkata dingin, seolah tak sedang berbicara dengan istri yang telah mendampinginya sepuluh tahun ini. Bagaimana mungkin ia mengaku tak mencintaiku. Semuanya begitu manis. Aku tak percaya ia berkata begitu.


“Steven, sadarkah apa yang baru saja kamu katakan? Kamu baru saja menjatuhkan talak!”


“Memang begitulah mauku. Akhir-akhir ini aku merasa begitu hidup. Bergairah dan penuh cinta. Aku merasa bahagia dengan Meta. Kita urus perceraian secepatnya. Besok kita ke Pengadilan Agama.” Kata-katanya dingin menusuk. “Sore nanti aku akan pindah. Sekarang aku mau numpang tidur sebentar. Di sofa di luar sini juga nggak apa-apa.
Aku capek!”


“Mas, apa benar kamu sering ke tempat-tempat dugem?” aku memberanikan diri bertanya.


“Hahhhh?! Dari mana kamu tahu?” teriak Steven.


“Toni. Dia bilang beberapa kali lihat kamu. Sedang bersama perempuan dan minum-minum.”

“Hmmm, jadi selama ini kamu kirim sepupumu itu jadi mata-mata heh?! Betul. Si Toni nggak salah lihat. Ohhh…pantas saja aku merasa pernah lihat dia.”


“Ngapain sih Mas kamu ke tempat-tempat seperti itu?” aku bertanya sambil menahan tangisku yang hampir saja meledak.


“Ah kamu tahu apa tentang tempat seperti itu. Aku merasa senang di sana. Dan apa pula urusanmu. Kita sudah cerai, kamu nggak berhak turut campur lagi. Ini hidupku tahu?!”


“Ya ampun Mas, sadar Mas, sadar…kamu lagi lupa diri Mas! Cepatlah bertobat”

“Hhhahhhhhhh…SUDAH DIAM!!!!” bentak Steven kasar sambil menghempaskan tubuhnya di sofa empuk yang terletak di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian dengkur halusnya terdengar.


Begitu Steven terpejam tangisku tumpah ruah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya Steven akan jadi seperti ini. Sang manusia sempurna bagi sebagian orang yang mengenalnya. Steven, yang semasa muda tak pernah mengenal tempat-tempat seperti itu. Steven, yang dulunya selalu membasahi bibirnya dengan berdoa. Steven, yang selalu menjaga kekudusan hati, tak mau bersentuhan dengan wanita selain istrinya. Steven, yang dulu lingkungannya selalu orang-orang yang baik.


Tapi sekarang??? Ketika lingkungan berubah, ia pun berubah. Menjadi manusia yang 180 derajat berpindah ke sisi lain dunia. Siapa yang akan mengira.

Aku menangis, membenamkan wajahku ke bantal. Josh memelukku dari belakang. “Mama, kenapa nangis?”


“Nggak kok sayang. Nggak papa,” aku mengusap air mata yang berurai. Ya Tuhan, lalu bagaimana nasib Josh dan Abigaill tanpa ayahnya. Aku tak sangup lagi berpikir.


Di atas tempat tidur, aku mengadu kepada Tuhan yang Maha Mendengar hambanya yang tengah kesusahan. Aku pun sadar tidak seluruhnya adalah kesalahan Steven, pasti aku ada mempunyai andil. Aku terlalu mencintainya, memujanya. Bahkan cintaku padanya mungkin melebihi cintaku pada Tuhan. Mungkin ini teguran Tuhan bagiku, yang sering lupa padaNya. Yang menjadikan kecintaanku pada mahluk melebihi segala-galanya.


Satu episode hidupku telah berusaha kulalui dengan tetap berada di jalanNya. Dahulu, aku memutuskan menikah dengan Steven berdasarkan cintaku pada Tuhan. Pada waktu itu aku ikhlas dengan agamanya. Sebagaimana pesan Sang Pencipta agar tidak menolak pinangan laki-laki yang agamanya baik. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di muka bumi. Dengan berbagai pertimbangan itu aku menerima lamaran Steven. Jadi salahkah aku kalau semuanya berakhir seperti ini?

Tiada kesempurnaan bagi seorang manusia. Tuhanlah yang Maha Membolak-balik hati manusia. Salahkulah yang mengharapkan kesempurnaan dari Steven, yang menganggap ia adalah segala-galanya tak bercacat. Padahal setiap orang tak pernah tahu bagaimana akhir hidupnya.


Aku masih hidup dan bernafas. Ini bukan akhir hidupku. Aku yakin Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik di balik semua ujian yang diberikannya. Kekalutan dan ketakutanku perlahan sirna. Aku tak perlu khawatir dengan hidupku, hidup anak-anakku kelak. Tuhan-lah yang menjamin hidupku. Dia tak akan menelantarkan hambaNya.


Inilah takdir yang telah ditetapkan olehNya. Dan ini pasti yang terbaik bagi kami semua. Semoga saja Tuhan membukakan kembali hati Steven yang telah kelam dan mengembalikannya kepada kehidupan yang dulu.


Kupandangi lagi wajah tampan di seberang aku duduk saat ini. Nanti sore ia akan pergi dari rumah ini, pindah ke apartemen Meta, perempuan yang sering bersamanya di tempat dugem. Dan esoknya, kami akan ke Pengadilan Agama, mengurus perceraian.


Tangisku tetap ada, jiwaku tetap remuk redam, tapi hatiku terhibur olehNya. Satu episode hidup telah kulalui. Ketika cinta harus usai maka hidup harus terus berlanjut. Hati kecilku bertanya, kepada siapakah sebenarnya cintaku kupersembahkan? Kepada Steven ataukah Tuhan. Cinta sesungguhnya tak pernah usai. Kuusap lelehan tangisku. Episode lain telah menunggu untuk disusuri.



KRISDAYANTI - Cobalah Untuk Setia

Intro: F Bb F Bb

F C
Apalah mau mu kasih
Dm C
Kau pilih diriku di dalam hidupmu
Bb
Nyatanya ku lihat kini
Am Gm C
Tak bisa kau coba untuk setia

Dm C
Sudah cukuplah sudah
Bb F
Ku memberikan waktu
Dm C Bb C
Kau selalu tak bisa mencoba untuk setia

Reff: F
Yang selalu ku inginkan
Bb
Yang selalu kunanti
Gm
Kau coba tuk mengerti
Bb C
Apalah arti mencinta

F
Dan harus kau sadari
Bb
Bila ingin bersamaku
Gm
Jangan coba kau ingkari
Bb C
Cobalah untuk setia

Int: F Bb

F C
Apalah mau mu kasih
Dm C
Kau pilih diriku di dalam hidupmu
Bb
Nyatanya ku lihat kini
Am Gm C
Tak bisa kau coba untuk setia

Dm C
Sudah cukuplah sudah
Bb F
Ku memberikan waktu
Dm C Bb C
Kau selalu tak bisa mencoba untuk setia

Kembali ke: Reff

Int: Fm

Fm
Masihkah aku di inginkan
Fm
Masihkah aku di dambakan
Bbm C
Masih ada waktu untukmu
Db C
Bersamamu akankah ku jalani hidup

Reff: G
Yang selalu ku inginkan
C
Yang selalu kunanti
Am
Kau coba tuk mengerti
C D
Apalah arti mencinta

Em
Dan harus kau sadari

Bila ingin bersamaku
Am
Jangan coba kau ingkari
C D G
Cobalah untuk setia

Int: G D Em D
C Bm Am D

Em
Dan harus kau sadari

Bila ingin bersamaku
Am
Jangan coba kau ingkari
C D G C
Cobalah untuk setia

G C
Dan harus kau sadari
G C
Bila ingin bersamaku
G C
Jangan coba kau ingkari
G
Cobalah untuk setia

2 komentar:

croissant mengatakan...

pergaulan yg buruk menghancurkan kebiasaan yg baik
Ngebc crt ini jd inget sama seseorg ko...
Nice story ko
Likes this! d'v'b

Mortalnasep mengatakan...

Erm..
km cb lht blogku ttg forgiving...
anyway,u should watch 70x07
it is a great movie..:)