Selasa, 22 Juni 2010

SEANDAINYA WAKTU DAPAT DIPUTAR KEMBALI


Cerita dibawah ini merupakan kisah nyata yang disharingkan kepada saya : Re (nama samaran). Ia berharap agar kisahnya ini dapat dijadikan ’pelajaran’ bagi semua orang : tentang cinta, pergaulan dan narkoba.

Kala itu semua terasa indah, ketika dia masih ada di sisiku. Kini mungkin dia telah bahagia di alamnya, Semoga.

Ini kisah tentang seorang lelaki yang meninggal karena HIV/AIDS, sebut saja dia Radit. Entah mengapa sampai sekarang kenangan dengannya selalu melekat di benakku, seolah tak mau lepas, bayang – bayangnya begitu terasa nyata dimataku, meski kini Radit telah kembali ke sisi Sang Pencipta.

Kurang lebih lima tahun aku berpacaran dengannya, tentu saja itu bukan waktu yang sebentar bukan? Segala macam cobaan telah kami lalui, suka duka selalu mewarnai perjalanan cinta kami. Namun dalam sekejap semua hilang. Radit telah berpulang. Dan hingga kini aku masih belum ikhlas untuk melepaskannya, meskipun tetap aku harus merelakannya.

Semua itu karena barang laknat itu. Narkoba (putauw) lah yang merenggut nyawa pacarku. Berawal dari ketika dia masih duduk dibangku SMA, dia mulai mengenal barang itu. Mungkin karena rasa ingin tahu yang sangat tinggi atau karena salah pergaulan, entahlah, yang jelas di akhir sisa umurnya, Radit menyatakan penyesalannya atas kesalahannya itu. Meski orang tuanya tampak marah, tapi bagaimanapun juga kasih sayang terhadap anak tak akan pernah hilang.

Rasa kaget, marah dan sedih campur aduk menjadi satu ketika kudengar dari salah seorang perawat RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM), bahwa Radit mengidap HIV/AIDS. Hampir ku tak percaya, sampai akhirnya kutanyakan ke dia, apakah dia pernah berperilaku buruk (sex bebas), ku tanyakan padanya seperti itu karena yang kutahu HIV/AIDS adalah penyakit yang ditularkan melalui sex. Ternyata aku salah besar, karena HIV/AIDS juga dapat ditularkan melalu pemakaian putauw dengan jarum suntik secara bergantian dengan teman. Dan Radit pun mengaku dia pernah memakai putauw bersama teman – teman kompleknya, kala duduk dibangku SMA.

Siapa sangka diantara teman – temannya itu ada yang menjadi penyebab tertularnya Radit dengan penyakit mematikan itu. Mungkin karena pengetahuan Radit yang minim tentang cara penularan HIV/AIDS saat itu, Radit terlanjur tenggelam di dalam 'kolam kematian'.

Kadang aku menyesali mengapa ini harus terjadi. Andai saja waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya aku menyelamatkan Radit agar tak terjerumus ke jalan yang mengantarnya ke kematian itu. Seandainya aku mengenal dia dari SMA. Sayang, aku baru mengenal dia ketika kami sama – sama kuliah di Yogyakarta.

Ketika masih kuliah, seperti tak ada yang aneh pada dirinya. Dia tampak sehat, badannya cukup gemuk bahkan makannya pun sangat banyak. Sehari – harinya pun dia selalu melakukan hal – hal yang bersifat wajar. Pendek kata, tak tampak dalam dirinya bahwa didalam tubuhnya telah bersemayam dan berkembang virus jahanam bernama HIV.

Meskipun kerap kali setiap kami bertengkar, tak jarang dia melarikan diri dari masalah dengan cara minum minuman keras bersama dengan teman – temannya, namun itu tak membuat aku menganggap dia sebagai lelaki yang tidak baik. Karena menurutku, pada dasarnya Radit adalah lelaki yang sangat baik. Sebagai kekasih, dia sangat setia, cukup bertanggung jawab dan yang terpenting dia sangat mengerti dan mau menerima baik buruknya diriku. Sifatnya yang sabar dan mau mengalah bisa meredam sifatku yang cenderung emosional. Segala hal dalam dirinya itulah yang hingga kini belum dapat kutemukan penggantinya.

Sekitar April 2006, kudengar kabar dari kakaknya, bahwa Radit jatuh sakit sehingga harus diopname di RSUD Karawang, dikota asalnya. Kala itu kudengar Radit kena Typus. Setelah seminggu Radit dirawat di RSUD Karawang, dia pun pulang kerumahnya. Betapa aku sangat kaget, ketika ku tengok dia, kulihat badannya mengurus cukup drastis.

Kala itu aku belum tahu kalau dia mengidap HIV/AIDS. Sejak dari itu kudengar lagi dari orang tuanya kondisi Radit menurun terus, badannya panas tinggi disertai diare yang sangat hebat, sehingga dia harus dilarikan kembali ke RS. Bayukarta, Karawang.

Kurang lebih 20 hari lamanya Radit dirawat di RS. Bayukarta tanpa ada yang memberitahu apa sebenarnya penyakit Radit. Sampai akhirnya Radit dirujuk oleh rumah sakit itu untuk di rawat di RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, karena menurut dokter setempat, peralatan dan fasilitas kedokteran di Rumah Sakit tersebut lebih lengkap dan lebih baik. Akhirnya orang tua Radit pun setuju untuk membawa Radit ke Jakarta, meskipun awalnya mereka keberatan karena Jakarta dirasa sangat jauh bagi mereka dan tentunya akan menelan banyak biaya. Namun akan terasa lebih dekat bagiku untuk menjenguk Radit, karena aku tinggal di Jakarta. Tentu saja aku lebih senang, karena jika Radit di rawat di Jakarta, aku akan jadi lebih sering menengoknya, setiap aku pulang kerja. Akhirnya Radit pun di bawa ke Jakarta.

Hari pertama Radit dibawa ke Jakarta tepatnya di RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM), dengan mengantongi kartu GAKIN (Keluarga Miskin) dari kelurahan asal dia tinggal. Kulihat kondisinya begitu menyedihkan. Dia tampak semakin kurus, terduduk dan melamun di atas tempat tidur dorong di lorong rumah sakit tersebut, sementara dia belum mendapatkan kamar. Kulihat pelayanan terhadapnya sangat menyedihkan. Sepertinya perawat – perawat di rumah sakit itu tak peduli kepadanya.

Ketika Radit merasa kesakitan karena jarum infus yang menancap di tangannya dalam posisi salah sehingga membuat tangannya menjadi bengkak, kulihat perawat rumah sakit itu membetulkannya dengan sikap diskriminasi. Hal itu terlihat jelas dari cara perawat itu membetulkannya. Perawat itu memakai sarung tangan lengkap dengan masker penutup hidungnya, seolah – olah dia sedang berhadapan dengan orang yang sangat menjijikkan.

Melihat hal itu, tergerak hatiku untuk memindahkan Radit ke rumah sakit lain yang dirujuk oleh RSCM yaitu RS. Duren Sawit. Kutelepon kakakku, Ivon. Kuminta dia untuk datang dan memindahkan Radit ke RS. Duren Sawit. Ketika sedang mengurus administrasi, baru kutahu bahwa sebenarnya penyakit Radit adalah HIV/AIDS. Dan parahnya lagi, kakakku pun jadi tahu apa sebenarnya penyakit Radit. Hal yang sangat disesalkan atas kecerobohan perawat RS. Cipto Mangunkusumo karena tak dapat menjaga rahasia pasien. Serta merta kakakku sangat kaget dan membatalkan niatnya untuk membawa Radit ke RS. Duren Sawit dengan mobilnya. Meskipun akhirnya dia tetap menolong memindahkan Radit dengan menyewakan mobil ambulans. Kala itu sungguh moment yang sangat menyedihkan. Karena kulihat betapa Radit begitu di sia – siakan. Kakakku menyuruh aku untuk pulang saja, karena dianggapnya penyakit Radit itu berbahaya dan menular. Namun aku menolak. Aku tetap ingin mengantarkan Radit, meskipun didalam mobil yang berbeda. Aku berada didalam mobil kakakku, sedangkan Radit ada di dalam ambulans. Dan suara ambulans itupun nyaring berbunyi mengiringi suara tangisku.

Kurang lebih sepuluh hari Radit dirawat di RS. Duren Sawit. Awalnya kulihat kondisinya semakin baik. Tetapi ternyata kondisi baik itu tak berlangsung lama. Radit mulai diare lagi dan kondisi ini semakin parah. Di lain sisi, Ibu Radit mulai tampak marah padaku, karena dia lihat aku seperti mulai jijik mendekati Radit.

Aku akui bahwa aku memang agak menjaga jarak dengan Radit meskipun tiap harinya aku selalu menemani Radit. Aku mulai tak berani memegang tangan Radit, mencium pipi Radit, bahkan untuk mengobrol dengan Radit pun aku seperti menjaga jarak. Dan Radit sangat menyadari hal itu. Namun Radit seperti tak dapat menyalahkan sikap aku yang seperti itu, yang akhirnya dia hanya bisa melampiaskan amarahnya kepada Ibunya saja. Dan itu membuat pertengkaran antara aku dan Ibu Radit terjadi. Sungguh aku sangat menyesalkan hal itu. Akupun tak diijinkan lagi untuk menengok Radit. Cukup lama aku tak menengok Radit di RS. Duren Sawit, hingga kudengar kabar bahwa Radit sudah pulang ke rumahnya di Karawang.

Aku selalu mencoba untuk menelponnya, tapi seringkali HP Radit tidak aktif. Aku seperti kehilangan kontak dengan Radit. Lalu aku putuskan untuk datang ke Karawang untuk menengok Radit. Aku bertekad keras meskipun aku takut, kalau nantinya mungkin aku diusir oleh Ibunya. Namun aku tak peduli. Rasa bersalah dan penyesalan membuatku ingin sekali menemui Radit.

Kulihat di muka Radit, seperti sangat senang melihat aku datang menengoknya. Setelah aku mengobrol cukup panjang dengannya, aku pamit untuk pulang. Kucoba meraih tangannya dengan maksud untuk mencium tangannya, betapa aku sangat sedih ketika dia menarik tangannya kembali dan mengatakan “ Jangan ah”. Di situ aku menyimpulkan betapa Radit sangat malu kepadaku dan seolah-olah tak ingin penyakitnya itu menulari padaku.

Sungguh, hal itu membuatku menangis dan sangat menyesal seumur hidupku. Tak seharusnya ketika dia masih di RS. Duren Sawit, aku menjaga jarak dengannya, karena dengan penyakitnya itu saja sudah cukup membuat dia sedih, ditambah lagi dengan sikapku yang seperti menjaga jarak dengan dirinya, sudah pasti akan membuat hidupnya semakin tak berarti. Tak disangka hari itulah terakhir kalinya aku berjumpa dengan Radit.
***

Tanggal 24 Juli 2006, seperti mendengar suara petir, ketika kakaknya menelponku dan memberi kabar bahwa Radit telah menutup usia. Serta merta aku ijin dengan kantorku untuk segera ke Karawang, karena jasad Radit akan segera dikuburkan.

Hampir sampai di rumah Radit, kulihat bendera kuning terikat di tiang dan kulihat banyak orang berkerumun didepan rumah Radit. Dan ketika aku telah sampai dirumahnya, kulihat jenasah Radit sedang di mandikan dan betapa kagetnya aku, Ibu Radit yang semula marah padaku tiba–tiba memelukku dan meminta maaf. Kami pun menangis tak henti–hentinya. Kita semua merasakan kehilangan yang sangat besar atas meninggalnya seorang yang sangat kita sayangi.

Tak terasa dua setengah tahun sudah Radit pergi meninggalkanku, meninggalkan semua orang yang sangat menyayanginya. Meskipun kini dia telah tiada, namun kenangan dia tak pernah dapat kami lupakan. Dan entah sampai kapan kenangan itu akan terus membayangi hari–hariku, yang mana lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dapat dilupakan. Sudah pasti kenangan itu akan terus tertanam dalam hatiku. Tak jarang aku bertanya kepada diriku, kepada temanku, bahkan kepada Tuhan penguasa alam ini, apakah semua ini sudah merupakan suatu takdir atau kah karena kesalahan manusia belaka, sehingga Radit harus pergi untuk selamanya dan tak akan pernah kembali lagi.
Di dalam hati kecilku, selalu ku berharap, seandainya waktu dapat diputar kembali, aku ingin kejadian ini tak pernah terjadi.

Tidak ada komentar: