Rabu, 23 Juni 2010

AKHIR DARI SEBUAH PERSAHABATAN YANG SEJATI


Masih ingat dengan kisah si Radit? Pria yang meninggal karena mengidap penyakit mematikan HIV/AIDS. Kisah sedih ini tak berhenti sampai disini.

Satu persatu kesedihan menyusul sejak kepergian Radit. Ternyata Radit tak sendiri. Radit memang tak sendiri. Seperti yang telah dikisahkan sebelumnya. Radit terkena virus HIV/AIDS karena pemakaian putauw dengan jarum suntik bergantian dengan teman-teman satu kompleknya kala dia masih duduk di bangku SMA.

Kudengar kabar, beberapa tahun sebelum tiba-tiba kondisi Radit menurun terus karena kekebalan tubuhnya yang telah habis, ternyata aku ketahui dari kakak Radit, bahwa ada tiga orang teman Radit yang mendahului Radit 'menutup usia'. Dan dahsyatnya penyakit yang mereka alami sama persis dengan yang Radit alami.

Kala itu terjadi, Radit masih menyelesaikan kuliah di kota Yogyakarta. Kota yang sama dengan kuliahku. Kala itu pula Radit hanya mendengar kabar itu sepintas lalu dari keluarganya, karena Radit berada di kota yang berbeda dengan keluarganya. Karena pengetahuan yang masih sangat minim tentang gejala penyakit HIV/AIDS, Radit tak menyadari apa penyebab dari kematian ketiga temannya itu. Setelah Radit pergi menyusul ketiga temannya itu, barulah keluarga Radit menyadari betapa kejamnya virus HIV/AIDS itu.

Kabar mengejutkan kudengar dari keluarga Radit, setelah tiga bulan Radit meninggal, salah seorang sahabat Radit, Andre, teman sepermainan Andre di Komplek kala Radit masih SMA, meninggal dengan proses sakit yang sama. Hanya saja Andre tak harus mengalami waktu yang lama seperti Radit alami. Hanya kurang lebih satu bulan Andre mengalami sakit dan akhirnya dia meninggal.

Bagaikan persahabatan yang sejati dan abadi, empat sekawan itu pun meninggal dunia dengan penyakit yang sama, penyakit yang mereka tak sadari dari mana asalnya dan bagaimana akibatnya.

Hampir dua tahun Radit meninggalkan kami, di pertengahan bulan Juni 2008, tak disangka kepergian Radit pun disusul lagi oleh kematian sahabat sejatinya satu komplek, Kris. Memang sebelum Radit 'menutup usia,' dia pernah bercerita pada kami, dengan siapa saja kala SMA dia menggunakan ’serbuk putih’ terlarang itu. Salah satu nama yang disebutkan sangat familiar sekali di telingaku. Kris memang sahabat dari kecil Radit. Bisa dikatakan dimana ada Kris, dapat dipastikan disitu pula ada Radit.

Usia Kris setahun lebih tua dari Radit. Radit pun menganggap Kris sebagai sahabat sekaligus kakak. Namun sangat disayangkan, kakak yang dijadikan panutan malah menjerumuskan Radit ke dalam jalan menuju kematian.

Aku ingat ketika Radit terbaring tak berdaya di RS. Bayukarta Karawang, beberapa teman komplek Radit datang menjenguknya. Salah satu dari teman itu adalah Kris. Namun entah apa yang dibisikkan Radit ke telinga Kris, hingga sepertinya perlahan-lahan Kris bergerak mundur dan sedikit menjauhi Radit. Belakangan ku ketahui dari salah seorang teman Radit, bisikan itu berbunyi, “Kris, badanku rasanya lemas banget, sepertinya organ dalamku telah hancur semua”. Tak disangka karena bisikan itulah, Kris mulai menghindari Radit.

Setelah Radit meninggal dunia, terdengar kabar bahwa Kris mulai sakit-sakitan. Meskipun terkesan keluarga Kris 'menutup rapat' tentang apa sebenarnya penyakit Kris, namun karena keluarga Radit telah lebih berpengalaman menghadapi gejala-gejala penyakit HIV/AIDS, rasanya sudah bisa ditebak apa sebenarnya penyakit Kris. Karena dilihat dari gejalanya, sakit yang dialami Kris sangat mirip dengan yang pernah dialami Radit.

Mungkin kejadian yang dialami Radit adalah pelajaran yang sangat berharga bagi keluarga Kris. Hikmah baik yang dapat diambil bagi keluarga Kris adalah keluarga Kris menjadi lebih sigap dan cepat dalam mengobati Kris. Dalam kurun waktu hampir dua tahun, secara intensif keluarga Kris membawa dia untuk selalu chek up ke RS. Dharmais, Jakarta. Dan dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun itulah kondisi kesehatan Kris bagaikan sebuah 'yoyo'.

Kurang lebih satu bulan Kris dirawat di RS. Dharmais Jakarta, Kris pun kembali ke Karawang. Terlihat kondisi Kris sudah mulai membaik. Badannya menjadi agak gemuk dan dia pun mulai berjalan-jalan keluar rumahnya. Suatu ketika pernah dia terlihat begitu lahapnya menyantap siomay didepan rumahnya ditemani oleh istri tercintanya.

Kala itu kulihat betapa bahagianya mereka. Kebahagiaan yang tak dapat kurasakan dengan Radit. Sejujurnya dalam hati kecilku sedikit kecewa. Bukan kecewa karena melihat kebahagiaan mereka. Tetapi aku kecewa akan keadilan Tuhan. Mengapa Kris bisa sembuh sedangkan Radit tidak?

Padahal mereka sama-sama pernah mengalami kondisi yang sama. Tapi ternyata aku salah besar. Bagaikan sebuah 'yoyo' tadi, kondisi baik Kris pun tak berlangsung lama. Berangsur-angsur kondisi Kris mengalami penurunan hingga akhirnya Kris pun meninggal dunia.

Ternyata Tuhan maha adil. Istri Kris pun harus mengalami rasa sakit yang sangat perih dan kesedihan yang amat sangat dalam seperti yang pernah kurasakan. Karena akhirnya Kris pun menyusul Radit dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun setelah Radit pergi mendahuluinya.

Sudah dapat dipastikan bagaimana sedihnya istri Kris karena ditinggal oleh suami yang sangat dia cintai. Hal yang sama yang pernah aku rasakan sebelumnya.

Dan bagaikan persahabatan yang sejati, Radit dan teman-temannya pun kini telah berkumpul kembali di alam mereka yang baru. Alam yang lebih abadi. Apakah ini akhir dari sebuah persahabatan yang sejati? Entahlah. Yang jelas mungkin ini adalah jalan yang terbaik bagi mereka. Setidaknya mereka tak perlu lagi merasakan sakit. Mungkin dengan adanya kejadian ini, banyak hikmah yang dapat kita ambil. Setidaknya bagi kita yang ditinggalkan untuk menyelamatkan generasi penerus kita.

Tidak ada komentar: